Kebiasaan Itu Buah Dari Kesediaan yang Terus Menerus
Oleh: Bangun Lubis
Beberapa waktu lalu, kita sama-sama baru memasuki awal tahun 2022. Seluruh penjuru dunia merayakan perayaan Tahun Baru. Hampir di seluruh pelosok negeri dapat dijumpai orang-orang berbondong-bondong memakai atribut topi kerucut dan meniup terompet. Mereka dengan gembira memakainya tanpa tahu kedua atribut ini merupakan atribut yang biasa dikenakan oleh orang kafir.
Asal terompet sendiri identik dengan ritual Yahudi. Sejarah mencatat sejak tahun 63 SM, Yahudi sudah akrab dengan penggunaan terompet. Dan hal itu berlangsung hingga zaman nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itulah, Rasulullah menolak ketika ada yang mengusulkan memakai terompet untuk memanggil kaum muslimin menjelang shalat berjama’ah. “Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi,” sabda beliau seperti diabadikan dalam hadits riwayat Abu Daud.
Adapun, topi kerucut yang banyak digunakan pada tahun baru ternyata biasa disebut “sanbenito”. Sanbenito (dalam bahasa Spanyol disebut sambenito) adalah pakaian “tobat” untuk kalangan Kristen yang menyimpang dari paham gereja. Pada perkembangannya, topi Sanbenito dipaksakan pula kepada kaum Muslimin Andalusia.
Ketika kaum Frank menyerang Spanyol Muslim (Andalusia), pada masa Raja Ferdinand dan Ratu Isabela (keduanya penganut Kristiani) berkuasa di Andalusia, kaum muslimin dibantai, keduanya memberi jaminan hidup kepada orang Islam dengan satu syarat, yakni keluar dari Islam.
Ahmad Salim Sungkar, Spkj menegaskan seorang muslim dilarang dan diharamkan untuk mengikuti dan menyerupai kebiasaan orang kafir (tasyabbuh). Di dalam sejarah, Rasulullah bahkan pernah melarang umat Islam untuk mengikuti kebiasaan menyisir orang-orang Yahudi. “Jadi, kalau misalkan orang Yahudi menyisir dengan model ini, umat Islam tidak boleh mengikuti dan diperintahkan untu menyisir dengan model yang berbeda,” jelas Salim.
Salim menambahkan, perbuatan apa saja yang dibiasakan berkali-kali, akhirnya akan disukai dan bahkan dicintai. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT, dalam Surat Al-An’am: 108, yang artinya, “ Sudah demikian kodrat yang dijadikan Allah, tampak indah (karena sudah disukai) bagi tiap umat sebabnya dibiasakan mengamalkannnya.”
“Jadi, kalau kita sudah mencintai itu untuk dihentikan itu sulit. Seperti halnya, anak-anak yang terbiasa bermain game, untuk dihentikan itu sulit. Begitu pula, kita yang sudah terbiasa makan nasi, lalu diganti dengan sagu, itu akan susah untuk dihentikan,” ungkap psikiater ini.
Lalu, diperkuat dengan ayat lain di Surat Al-Anam 132 yang artinya, “Derajat manusia bisa jadi ahli ibadah bisa juga menjadi ahli maksiat. Derajat manusia bisa jadi ahli ibadah atau maksiat tergantung pada amal yang biasa dilakukannya”.
Sehingga, lanjutnya, amal dan kebiasaan seseorang yang menentukan akan jadi apa orang itu. Orang yang terbiasa mengikuti orang Batak, akan menjadi layaknya orang Batak. Orang baik adalah orang yang terbiasa berbuat baik. Orang jahat itu yang terbiasa berbuat jahat. “Jadi, perbuatan itu akan melekat di dalam dirinya,”tukasnya.
Ditanya dalam hal apa saja tasyabbuh itu dapat terjadi, Salim menjelaskan selain apa yang ada di dalam Al-Quran dan Hadis, umat muslim dilarang mengikuti kebiasaan orang-orang kafir. Dimulai dari cara berpakaian, tata cara makan dan lain sebagainya. “Selain itu, standing party dimana seseorang mengadakan suatu acara reuni atau lain sebagainya. Dimana dalam menyantap makanannya dilakukan dengan berdiri. Padahal itu didalam ajaran agama islam itu dilarang,” ungkap mantan dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit dr. Sutomo ini.
Bukan tanpa alasan islam melarang umatnya melakukan tasyabbuh. Islam menegaskan umatnya untuk mengikuti orang kafir karena orang islam itu berbeda dengan orang kafir. “Kalau kita mengikuti mereka, maka kita tidak berbeda dengan mereka dan masuk dalam golongan mereka,” ungkap Salim.
Dia menyebutkan, bahkan di dalam suatu hadis, Nabi pernah beriwayat, “Pada suatu waktu, orang-orang Islam itu akan mengikuti apa saja yang dilakukan oleh orang-orang kafir dan sampai-sampai ketika orang kafir ini masuk ke dalam lubang biawak, muslim itu akan mengikutinya masuk”. Dimaksudkan disini, sambungnya, jangan sampai umat muslim berlaku menyimpang dari ajaran Allah dan Rasulullah, kemudian meniru perbuatan orang-orang kafir yang mengakibatakn mereka melakukan perbuatan dosa dan menjerumuskannya ke dalam neraka.
Dengan kebiasaan ini sendiri berdampak terhadap dirinya sendiri dimana dengan sendirinya akan kehilangan jati dirinya karena tidak terbiasa konsisten dan istiqomah dalam keyakinan itu. Contohnya dulu itu ada istilah dijajah. Sekarang fenomena ada orang Jawa yang ingin meniru Belanda menjajah seperti yang dilakukan oleh Belandan. Sehingga muncul istilah, “Dia sudah lebih Belanda, dari Belandanya”. Karena dia meniru perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Belanda pada masa itu sedimikan rupa, sehingga melupakan Jawanya.
“Misalnya, emosinya orang Islam terhadap menyembelih sapi berbeda dengan emosi orang Hindu terhadap menyembeih sapi. Karena mereka melihat sesuatu hal di dalam sapi itu, maka orang Hindu mengatakan bahwa sapi itu tidak boleh diseembelih,” jelas kakek dari 10 cucu ini.
Padahal Islam membolehkannya. Dari sana, jangan sampai umat muslim mengikuti mereka. Pasalnya dari emosi itu akan berpengaruh terhadap persepsi seseorang dan dilanjutkan akan berpengaruh terhadap urutan cara berpikirnya, sehingga akan berbeda bagaimana urutan berpikir satu orang dengan yang lainnya.
Salim mencontohkan, urutan berpikir orang islam mengajar akhirat itu nomor satu, dan baru dunia. Sebagai seorang muslim pastinya harus mengejar akhirat , namun jangan pula meninggalkan kehidupan akhiratmu. Berbeda dengan orang kafir, menurut mereka apa akhirat itu? Bahkan mereka mengagnngap itu tidak ada. Sehingga itu tidak perlu diperhatikan, apa di nomer satu
“Sehingga isi mentalnya seperti itu, jadi jika kamu mengikut mereka , maka isi mental kamu juga akan seperti itu,” terang Salim
Dia melihat cara memandang satu masalah akan diikuti oleh cara seseorang berpikir. Karena memandang akhirat itu tidak ada, maka cara berpikirnya akan mengbaikan kehidupan akhirat. Berbeda dengan cara memandang sebagai umat muslim, bahwa akhirat itu tempat berasal dan kembali sehingga cara berpikirnya otomatis mengutamakan akhirat, bukan sebaliknya.(*)