Baca Edisi Maret 22/Sya’ban 1443 H
Yaa Allah..Yaqut
Istighfar
MAKLUMATNEWS.com — Ditengah kaum emak-emak kesulitan mendapatkan minyak goreng, harganya mencekik, belum lagi wabah omicron covid-19 masih terus mengintai, tiba-tiba ada sebuah statement atau pernyataan dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qaumas yang menganalogikan pengeras suara azan seperti berisiknya suara anjing yang sedang menggonggong.
Menag Yaqut saat diwawancara di Pekanbaru Riau menjelaskan mengenai pentingnya aturan pembatasan tingkat kebisingan pengeras suara masjid atau TOA Masjid.
“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu enggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,” kata Yaqut.
Maka tak pelak lagi, ucapan Yaqut tersebut mendapat reaksi keras dari para tokoh umat islam dan ulama, bahkan pernyataan inilah yang kemudian dianggap oleh mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo sebagai bentuk penistaan agama. Roy bahkan melaporkan Yaqut ke Polda Metro Jaya, namun sayang ditolak karena locus delicti atau tempat kejadiannya di Riau bukan di Jakarta.
Imam Shamsi Ali, Direktur/Imam Jamaica Muslim Center yang berada di Amerika Serikat lebih menohok lagi dalam merespon ucapan Yaqut tersebut, dengan mengatakan para pejabat publik di tanah air ini hendaknya menjaga mulut, jangan asal ngomong.
Presiden Nusantara Foundation ini juga mengemukakan, pertanyaan Yaqut di tengah situasi yang tidak menentu dengan suasana emosional saat ini, seperti menyiram bensin ke tengah kobaran api. Di sinilah ironisnya, tidak jarang yang juga sering menjadi pemicu ragam kekisruhan dan kemarahan itu karena pemegang otoritas negeri (pejabat) yang seharusnya menjadi tauladan justeru tidak mampu mengontrol pernyataan-pernyataannya yang insensitif.
Imam Syamsi mengutarakan Allah bersumpah dengan lisan dan bibir: (dan demi lidah dan dua bibir). Para Ulama mengungkapkan bahwa salah satu maksud terpenting dari ayat itu adalah Urgensi menjaga kata-kata atau pembicaraan.
Demikian juga ketika Allah menggandengkan beberapa hal pokok kehidupan manusia di awal Surah Ar-Rahman. Satu yang terpenting di antaranya adalah urgensi membangun komunikasi yang tidak saja benar. Tapi juga berkesesuaian (proporsional), termasuk di dalamnya menjaga sensitifitas objek pembicaraan. Allah nengajarkan Al-Bayaan, oleh sebagian ulama dimaknai sebagai ekspresi sosial menusia dengan alam sekitarnya. Termasuk di antaranya urgensi menjaga kata dan pembicaraan. Rasulullah SAW sendiri bahkan menjamin surga bagi siapa yang mampu menjaga lisannya. Ini sekaligus menandakan urgensi berhati-hati dalam berkata atau berbicara. Karena benar juga kata orang bijak: sebuah kata dapat menembus apa yang tidak dapat ditembus oleh sebuah jarum.
Sementara itu, Saleh Partaonan Daulay, Ketua Fraksi PAN DPR RI, mengatakan, pernyataan Yaqut Cholil Qoumas, terkait aturan toa mesjid, benar-benar sangat disayangkan. Menurut dia, pernyataan itu dapat melukai perasaan umat Islam. Meski tujuan awalnya adalah untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan, namun pernyataan itu dinilai jauh dari kearifan dan kebijaksanaan.
Sudah banyak yang mempersoalkan. Masyarakat telah bereaksi. Malah, di medsos dibahas dengan beragam komentar miring.” Tidak sepatutnya seorang menteri agama membandingkan suara adzan dengan gonggongan anjing. Suara adzan adalah seruan dan ajakan untuk melaksanakan shalat. Dan shalat adalah ibadah yang sangat mulia dan wajib dihormati pelaksanaannya. Nah, apakah adzan itu pantas dibandingkan dengan hal-hal lain yang tidak relevan.
Orang yang tidak shalat saja, masih menghormati adzan. Ada banyak kegiatan dan aktivitas yang sengaja dihentikan sementara ketika suara adzan berkumandang. Nah, ini menteri agama kan santri. Kenapa malah membandingkan panggilan shalat tersebut dengan gonggongan anjing?
“Saya berharap agar masalah yang selama ini sudah membudaya tidak dipersoalkan dan diungkit-ungkit. Kalau disoal-soal dan diungkit-ungkit, akhirnya sesuatu yang selama ini dianggap biasa dan tidak mengganggu, menjadi suatu masalah. Terkesan ada stigmatisasi terhadap Islam dan pelaksanaan ajarannya, “ ujar politisi ini.
Soal azan ini sudah membudaya. Setiap waktu orang mengumandangkan azan. Diajarkan di banyak sekolah dan pesantren. Bahkan, ada perlombaan azan yang rutin dilaksanakan. Murid dan orang tua senang jika anaknya bisa menjadi juara. Kenapa mesti ada surat edaran Menteri Agama untuk mengatur volume suara adzan? Bukankah tanpa ada surat edaran itu, kehidupan di masyarakat tenang-tenang saja?
Menteri agama sangat tidak bijak. Dia perlu bicara dengan MUI dan ormas-ormas keagamaan Islam terkait masalah ini. Dialog dengan tokoh-tokoh agama ini sangat perlu untuk meluruskan apa yang sedang terjadi saat ini
“Pernyataan Yagut keterlaluan, tidak etis, dan tidak pada tempatnya. Kami minta segera klarifikasi dan minta maaf,” ucap Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Jazuli Juwaini dalam keterangannya, Jumat, 25 Februari 2022.
Menurut Anggota Komisi I DPR ini, kumandang azan melalui pengeras suara sudah menjadi kearifan umat Islam di Indonesia sejak dahulu. Selama ini, kata dia, tidak ada masalah karena bangsa ini sangat mengedepankan toleransi.
Umat beragama lain, kata Jazuli, tidak merasa terganggu dan dapat hidup berdampingan secara damai. Pun, umat Islam di wilayah minoritas juga bisa menerima simbol peribadatan agama lain, seperti acara misa/kebaktian atau penutupan jalan dan penghentian aktivitas ketika acara Nyepi seperti di Pulau Dewata.
Maka dari itu, Jazuli meminta Kementerian Agama tidak perlu mengatur-atur soal kumandang azan melalui pengeras suara secara rigit seolah-olah hal itu menimbulkan masalah besar di tengah-tengah masyarakat.
“Serahkan pada kearifan umat beragama,” imbaunya.
Jazuli mengatakan, seharusnya yang dikedepankan pemerintah adalah narasi dan penguatan toleransi bukan mengatur hal yang sudah berlangsung lama dan penuh toleransi di tengah-tengah masyarakat.
Apalagi, lanjut dia mengatakan, kumandang azan melalui pengeras suara ini sudah bertahun-tahun menjadi kearifan umat Islam di Indonesia.
“Umat lain hidup berdampingan dengan azan dan penuh toleransi. Ketika pemerintah mengatur-atur secara rigit hal yang sudah menjadi kearifan apalagi dengan narasi yang buruk akibatnya malah jadi polemik yang kontraproduktif,” ungkap Jazuli.
Lebih lanjut, politikus Partai Dakwah ini menilai, pernyataan Menag Yaqut justru tidak merepresentasikan toleransi, lantaran ngotot mengatur suara azan hingga menganalogikan dengan gonggongan anjing.
“Kementerian Agama ini bukan baru dibentuk, Yaqut juga bukan Menteri Agama pertama. Sudah banyak Menteri Agama sebelumnya, tapi tidak begini cara mengelola umat. Menag harus pakai akal sehat dan kearifan,” pungkas Legislator Senayan itu
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis pun merasa sedih dengan pernyataan Menag Yaqut tersebut. Cholil Nafis menyinggung soal kepantasan seorang pejabat dalam berbicara di ruang publik. Apalagi jika berkomentar dengan membandingkan sesuatu hal yang suci dan baik dengan suara hewan najis.
“Ya Allah… ya Allah .. ya Allah. Kadang malas berkomentar soal membandingkan sesuatu yang suci dan baik dengan suara hewan najis mughallazhah,”kata Cholil dikutip dalam Twitternya @cholilnafis Kamis, 24 Februari 2022.
Sementara itu, Organisasi Habaib, Rabithah Alawiyah, meminta Yaqut segera bertaubat dan meminta maaf. Rabithah Alawitah dalam penyataan sikapnya mengatakan, ucapan Menag Yaqut soal suara azan dan gonggongan anjing itu mencederai umat Islam.
Sejatinya, seorang menteri memberikan pernyataan yang menyejukkan dan bukan sebaliknya.
“Analogi yang disampaikan tidak relevan. Azan termasuk syiar Islam yang dikumandangkan untuk memanggil orang salat. Islam juga menempatkan azan dalam kedudukan tinggi,” jelas Ketua Umum DPP Rabithah Alawaiyah, Taufiq bin Albulqadir Assegaf dalam keterangannya, Jumat, 25 Februari 2022.
Tidak ketinggalan Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) IV Jaya Wikrama R.M.Fauwaz Diradja,S.H.M.Kn berkomentar. “Dan tentu kita sebagai umat Islam menolak analogi Menag tersebut dan meminta agar Menag segera minta maaf dan segera menyadari kesalahannya kepada umat Islam atas analogi tersebut,” katanya, Kamis, 24 Februari 2022.
Soal pengaturan soal azan dari Kementrian Agama ini, SMB IV memaklumi hal tersebut tetapi menurutnya harus ada strategi yang baik untuk mengatur azan bukan dengan serta merta dengan membuat aturan yang kaku.
“ Sebab azan itu sudah menjadi tradisi terutama di Palembang hampir seluruh penjuru ada azan dan selama ini tidak ada masalah, tetapi kalaupun mau diatur harus ada strategi misalnya dengan mendekati para tokoh dan ulama terutama di Palembang dan mendiskusikan itu serta melibatkan masyarakat sehingga masyarakat menjadi sadar kalau memang azan itu betul mengganggu,” katanya.(Berbagai Sumber)[]Aspani Yasland