BACA EDISI TERBARU MUHARRAM 1444 H/ AGUSTUS 2022 M
Hijrah dan Merdeka dari Oligarki
MAKLUMATNEWS.com — Sunatullah, rotasi waktu senantiasa berputar, detik ke menit, jam ke hari, hari ke pekan, pekan ke bulan dan bulan ke tahun. Tak terasa tahunpun sudah berganti. Umat islam saat ini sudah berada di tahun 1444 Hijriah. Tepat 30 Juli 2022 lalu, rotasi tahun 1443 H sudah bertambah setahun menjadi 1444 H.
Selanjutnya, umat islam yang ditakdirkan Allah Swt menjadi umat mayoritas di Indonesia, selang beberapa hari juga merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-77 tahun. Momentum hijrah sangat bertali berkelindan dengan nilai-nilai kemerdekaan. Keduanya sama-sama bertujuan menelurkan spirit perubahan kehidupan yang lebih baik lagi untuk masa depan cemerlang, bahagia di dunia dan di akhirat kelak.
Di usia ke-77 tahun ini, Indonesia sebagaimana banyak kalangan menyebutkan saat ini dalam kungkungan fenomena oligarki yang sangat memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, terutama dari segi ekonomi, sosial dan politik, akibat ulah oligarki yang lebih mengutamakan pribadi maupun kelompok dibanding masyarakat umum.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Oligarki berasal dari bahasa Yunani, “oligarkhes”, yang berarti sedikit yang memerintah.
Dengan usia yang 77 tahun ini, apakah oligarki bisa diminimalisasi dengan ruh dan spirit hijrah sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw di kota Madinah?
Dalam sirah nabawiyah, hijrahnya Rasulullah dimaknai sebagai perjuangan untuk lepas dari segala ketertindasan, kezaliman atas perilaku kaum Quraisy yang memusuhi dan menindas Nabi dan umat Islam. Hijrah juga bermakna upaya untuk membangun peradaban kembali, peradaban Islam yang menebar perdamiaan, kebaikan dan terlepas dari keterpurukan di Madinah al Munawaroh.
Hijrah merupakan pilihan untuk memerdekakan diri dari hegemoni kezaliman kekuasaan menuju keperadaban yang lebih demokratis. Hijrah menghadirkan tatanan masyarakat yang egaliter.
Dalam opini kajiannya di satelitnews.id, Dedi Sutendi, S.Th.I dari Lembaga Kajian Syahmi Center) menegaskan hijrah adalah keluar dari wilayah kepemimpinan oligharchy menuju kepemimpinan yang mengedepankan kapasitas, kapabilitas dan moralitas.
Kaum kafir Quraisy, pada hakikatnya merupakan simbol peradaban yang jauh dari demokratis, menjalankan praktik oligharchy. Untuk itu gerakan hijrah yang dilakukan Rasulullah adalah bentuk gerakan moral terhadap ketidakbenaran sistem yang ada.
Dikatakan juga, spirit hijrah jika dilandasi dengan keimanan dan semangat jihad akan melahirkan gerakan perubahan yang dahsyat. Tidak semata-mata melawan penguasa untuk merebut kekuasaan, tetapi bagaimana hijrah membawa masyarakat menjadi merdeka. Merdeka dari ketertindasan, merdeka dari kebohongan arus informasi. Merdeka dari ketertutupan kran saluran aspirasi umat yang tersumbat. Merdeka bersuara menyatakan ketidaksetujuan atas kebijakan penguasa yang membawa umat lebih buruk. Hijrah adalah gerakan moral membela kaum mustadh’afin.
Di Madinah, Rasulullah Saw juga merombak sistem perekonomian yang timpang dikuasasi oleh segelintir orang (konglomerat) menuju perekonomian yang berpihak pada umat, yakni ekonomi keumatan. Yang tak kalah penting, Nabi membangun masyarakat madani yang amat berpihak kepada kaum mustadh’afin.
Momen tahun baru hijirah yang berdekatan dengan perayaan Kemerdekan Indonesia ke-75 sepatutnya dijadikan sarana untuk mengubah paradigma memandang kekuasaan. Kekuasaan yang berpihak kepada kepentingan umat, bukan berpihak kepada pengusaha yang menjadi sponsor ketika berkontestasi. Hijrah menjadi gerakan moral berpindah dari hanya memperjuangkan keluarga, kelompok dan golongannya saja menuju kepemimpinan di berbagai daerah, tetapi lebih fokus mengurus umat yang masih berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Deden menekankan, hijrah menjadi semangat untuk memerdekakan kaum mustadh’afin agar mendapat keberpihakan dari setiap kebijakan penguasa. Hijrah menjadi semangat memerdekakan pemimpin bangsa Indonesia dari tekanan negara asing dalam setiap kebijakannya.
Hijrah dan kemerdekaan sejatinya dijadikan spirit membangun bangsa lebih baik, di bawah tuntunan keimanan. Hijrah memerdekakan bangsa Indonesia dari para penguasa yang hanya haus kekuasaan atas topeng demokrasi prosedural. Hijrah memerdekakan umat dari pembodohan pihak tertentu yang ingin menghancurkan bangsa.
Sementara itu, Fauzan Anwar Sandiah, Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengemukakan jika hijrah ialah peristiwa pembebasan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari penindasan kaum kafir Quraisy, maka kemerdekaan Indonesia ialah momentum awal lepasnya bangsa dari cengkeraman penjajah. Kemerdekaan ialah semacam tiket kita untuk menentukan nasib sendiri dan masa depan bangsa.
Kemerdekaan tentu tidak sebatas bebas dari cengkeraman penjajah. Kemerdekaan yang hakiki ialah lepas dari perpecahan bangsa. Maka, merawat kemerdekaan pada dasarnya ialah merawat persatuan. Sayangnya, kemerdekaan bangsa saat ini justru terancam oleh tiga persoalan besar, yakni pandemi, sektarianisme dan radikalisme.
Menurut Fauzan Anwar Sandiah, banyak orang mengira Islam merupakan agama yang melanggengkan struktur feodal dan hirarkis. Islam dianggap lekat dengan model institusi politik seperti dinasti, mempromosikan patriarki, mengekang kebebasan manusia, dan menciptakan struktur kultural dalam proses keagamaan. Diungkapkan, sejarah Islam awal adalah serangkaian kisah mengenai cara Nabi Muhammad mendisiplinkan jaringan oligarki, mengajarkan penguatan solidaritas komunitas, dan mempromosikan prinsip traktat humanisme hukum.
Islam sebagai sejarah gagasan menampakkan dengan jelas upaya menentang kekuasaan oligark Makkah. Kecaman Nabi Muhammad terhadap ekonomi riba dan desakannya memformalisasi distribusi kekayaan dalam bentuk zakat merupakan wujud disposisi ajaran monotheisme Islam.
Nabi Muhammad berhasil meyakinkan banyak orang bahwa ajarannya mampu mengatasi ketimpangan kesejahteraan yang melanda jazirah Arab. Makkah saat itu sudah menjadi pusat perdagangan dan kota yang sangat mewah. Jadi, Rasulullah harus merumuskan model teologi baru, berbeda, dan bersifat akomodatif bagi kegelisahan kelas bawah. Maka model teologi itu haruslah menggabungkan model kesalehan urban, subsisten moral hidup gurun pasir dan regulasi ekonomi-politik yang berlandas pada jaminan sosial.
Gagasan semacam ini ditemukan perlahan-lahan ketika Nabi Muhammad berpindah ke Yatsrib. Di sana ia memperoleh kesempatan untuk memperluas misi keadilan sosial. Keberhasilan Nabi Muhammad merumuskan visi keadilan sosial itu harus disandarkan pada keterlibatan pengetahuan-wahyu.
Ada banyak kisah bagaimana Nabi dikontrol atau dibimbing oleh pengetahuan-wahyu untuk menghindari kompromi dengan oligarki Makkah. Banyak sosiolog berdebat soal posisi pengetahuan-wahyu ini bagi keberhasilan dakwah Nabi. Pengetahuan-wahyu dalam tradisi Islam dipahami sebagai wawasan religius, rasional dan sangat mudah dipahami melalui tanda-tanda ekologis. Pengetahuan-wahyu ini agak berbeda secara prinsip dengan pengetahuan-metafisik yang sudah banyak digunakan oleh orang-orang Arab waktu itu.
Nabi Muhammad menekankan bahwa pengetahuan-wahyu sangat peduli terhadap visi keadilan sosial, sedangkan informasi-informasi dari ahli nujum netral dari kritik ekonomi.
Alquran merupakan dokumentasi dari pengetahuan-wahyu, dan ada banyak pemaparan informasi ekologis di dalamnya ketimbang prediksi-prediksi misterius yang melangkahi prinsip kerja alam. Oligarki Makkah sebagaimana disebut di atas, menguasai tanah di kawasan subur Arab, dan selama beberapa dekade berhasil menundukkan percobaan perlawanan pengembara-baduy. Mereka mengekspansi kawasan gurun, pusat mata air, area yang mendapat curah hujan regular, dan memperoleh budak-budak baru untuk bekerja di ladang. Struktur kerja ekonomi-politik ini adalah otoritas berbasiskan kekayaan. Ajaran tauhid sebagai model monoteisme baru memperkenalkan otoritas nir-modal, mendengar doa orang tertindas, berbagi kekuasaan dan kekayaan, mengukur kualitas seseorang berdasarkan kualitas sosial dan lain sebagainya.
Moral tauhid mendistribusi kekayaan terpusat itu menjadi milik kolektif atas dasar ketuhanan bahwa tidak ada yang berhak memiliki apapun secara absolut dan mutlak. Seseorang diberi keleluasaan mengelola tanah sejauh dia sebagai “perwakilan Tuhan di muka bumi.”
Nabi Muhammad memperkenalkan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi, yang berarti bahwa manusia bukanlah otoritas tunggal. Sistem oligarki tidak mengenal manusia sekedar “wakil” di mana kekuasaan itu diberikan atas kesadaran pada kekuatan eksternal. Ajaran tauhid Muhammad membatasi akumulasi modal dan membatasi domestifikasi terhadap sumber-sumber kehidupan. Oligarki Makkah bukan cuma menguasai agrarian, tapi juga memegang hak atas kantong-kantong air yang begitu vital bagi kehidupan masyarakat gurun.
Ajaran Islam Muhammad berangkat dari kritik atas ketimpangan alat produksi seperti tanah. Nabi melarang otoritas politik menguasai tanah produktif yang masih digunakan oleh komunitas. Hanya tanah yang betul-betul tak berpemilik yang bisa digunakan oleh otoritas politik.
Nabi melarang praktik menggusur tanah yang masih digarap oleh peladang. Maka Nabi membentuk institusi Baitul Maal untuk membagi konsesi penggunaan ladang yang sebelumnya berlangsung sangat bebas. Kabilah-kabilah dilarang memonopoli tanah atau mengekslusi ladang komunitas lain melalui jalur militer sebagaimana yang lazim dilakukan. Ketimpangan kesejahteraan yang terang benderang hadir dalam bentuk perbudakan dan kematian orang-orang Arab miskin akibat kelaparan sangat menghantui jiwanya.
Sangat eksplisit dalam seruan Muhammad misalnya, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu” (QS. 3:2) atau “ada tiga orang yang menjadi musuhku di hari kiamat: orang yang berjanji dengan aku, lalu memungkiri janjinya. Orang yang memperjualbelikan manusia merdeka, dan memakan harga manusia merdeka yang dijualnya itu. Orang yang mengupah pekerja dan pekerja itu telah membereskan pekerjaannya, tetapi gajinya tak dibayar” (Hadits Qudsi).
Hijrah dan merdeka dari oligarki yang sekarang menguasai Indonesia saat ini, tentu akan segera bisa teratasi bilamana ajaran islam yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw, benar-benar dilakukan oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kapasitas masing-masing baik dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Selamat tahun baru islam 1444 H dan Dirgahayu RI ke 77. (*)
Editor : Aspani Yasland