OPINI

Perkembangan Hukum Kesehatan Kerja

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — BERAWAL dari revolusi industri, terjadi perubahan terhadap metode memproduksi barang di sektor industri agrikultur.

Semula dilakukan oleh tenaga manusia kemudian dialihkan menggunakan mesin produksi (James L. Outman, Elisabeth M. Outman, 2003 dalam Hamonangan Albariansyah).

Di sisi lain perubahan cara produksi ini berbanding lurus dengan meningkatkan angka kecelakaan kerja yang menimpa pekerja.

Pada awalnya kecelakaan kerja cenderung disebabkan oleh sebuah musibah ( tertimpa, terjatuh, tertimbun dan lain sebagainya).

Setelah revolusi industri kecelakaan kerja sumber kecelakaan kerja bersumber dari mesin seperti kebakaran, peledakan, ataupun terpotong dari bagian tubuh pekerja.

Dengan demikian dapat dikatakan resiko Keselamatan Kerja yang dihadapi pekerja berasal dari dua hal, yaitu kecelakaan kerja dan akibat kerja.

Kedua hal tersebut berawal dari kondisi kerja tidak aman (unsafe act) atau kondisi kerja tidak aman ( unsafe condition).

Hadirnya mesin mesin produksi dianggap sebagai sumber penyebab meningkatnya resiko kematian atau cidera yang dialami pekerja bisa bersifat ringan sampai berat, sehingga memicu meningkatnya tindak Pidana pengrusakan mesin mesin produksi oleh pekerja dalam suatu perusahaan dan aset milik perusahaan.

Dalam perkembangannya, mesin mesin produksi tidak hanya dilihat sebagai ancaman keselamatan kerja bagi pekerja, melainkan juga ancaman terjadi nya praktek upah murah, hanya pekerja yang mempunyai skill mengoperasikan mesin produksi saja yang dipertahankan perusahaan.

Kondisi ini juga turut meningkatkan tindak kriminalitas yang berkaitan dengan pengrusakan mesin mesin produksi ( Charles Barrow, ibid, 13).

Pada awalnya persoalan kecelakaan kerja mendapat perhatian serius oleh perusahaan, namun tidak dimaksudkan untuk melindungi pekerja dari bahaya kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja, melainkan untuk melindungi keamanan mesin mesin produksi agar tidak dirusak atau mengalami kerusakan karena kebakaran dan peledakan.

Hal ini dapat dilihat dari pola registrasi keselamatan kerja yang dikeluarkan sampai saat ini masih didominasi oleh pengaturan pengaturan yang bersifat teknis.

Walaupun demikian, momentum ini diyakini sebagai awal dimulainya reformasi hukum untuk keselamatan kerja sektor industri ( legal reform for industrial safety).

Mulai dari pencatatan sederhana mengenai riwayat kasus kecelakaan kerja, mulai dari waktu, lokasi, penyebab nya, jenis kerusakan, jumlah korbannya, pelakunya, seta total kerugian yang dialami perusahaan pada peristiwa tersebut.

Walaupun pada saat ini pencatatan nya masih sangat sederhana, namun praktek sederhana ini diyakini juga sebagai titik awal berkembang nya dimasukkannya tanggung jawab kecelakaan kerja pada perusahaan dan berlaku nya sanksi Pidana bagi perusahaan ( Anne-Marie Feyer and ANN Williamson, ibid).

BACA JUGA  Sukses Itu Bukan Soal Harta Saja

Dalam perkembangan nya, dalam kondisi cidera, cacat dan kematian pekerja berkaitan dengan perintah kerja, prinsip ini dinilai tidak relevan diterapkan.

Kemudian muncul pemikiran bahwa perusahaanlah yang bertanggung jawab atas terjadi kecelakaan kerja.

Didasarkan pada praktek hubungan kerja pada abad ke 18 yang berlandaskan pada prinsip majikan pelayan ( the master- servant principles) yang merupakan praktek kebiasaan hukum di Inggris (British common law).

 

Majikan – Pelayan

Prinsip majikan – pelayan ini menggambarkan si pekerja layaknya seorang pelayan yang harus menuruti mengikuti perintah majikannya, pekerja adalah pesuruh, menjalankan perintah, pekerja adalah alat mendapatkan keuntungan dalam berusaha.

Namun dalam prakteknya justru terjadi eksploitasi atau penyalahgunaan relasi kuasa majikannya terhadap pelayannya. (Harry C.Katz and Thomas A.Kochan, ibid, h. 14).

Perkembangan prinsip kerja majikan – pelayan ini turut mempengaruhi munculnya teori penyebab kecelakaan kerja, semula teori teori penyebab kecelakaan kerja mendudukkan perilaku kerja tidak aman dan kondisi kerja tidak aman merupakan tanggung jawab masing masing pekerja, dan perusahaan dibebaskan dari tanggung jawab, berubah mendudukkan perusahaan bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.

Dengan alasan bahwa pekerja hanya orang yang bekerja pada perusahaan berdasarkan perintah kerja dan upah dari perusahaan, kemudian sipekerja bekerja di lingkungan kerja yang telah ditentukan oleh perusahaan, maka secara moral etis sudah sepatutnya perusahaan lah yang bertanggung jawab menghilangkan praktek perilaku kerja tidak aman dan kondisi kerja tidak aman.

Dengan kata lain, terjadinya kecelakaan kerja merupakan hasil dari serangkaian kontribusi yang bersumber dari lemahnya kontrol dan kebijakan perusahaan selaku penyelenggara sistem keselamatan kerja sehingga terjadi praktek Perilaku kerja dan kondisi kerja yang tidak aman.( Heinrich, Petersen, and Ross, ibid.)

Prinsip kerja majikan -pelayan ini berimplikasi pada hilangnya kepedulian dan kehati-hatian yang wajib dilakukan oleh pelayan atas nama majikannya, karena konteks nya pelayan hanya melaksanakan perintah tanpa membantah.

Praktek ini kemudian mendorong terjadinya pembaharuan dalam sistem hukum pidana di Inggris mengenai upaya memperbaharui tanggung jawab majikan – pelayan ( the master-servant liability) menjadi tanggung jawab pengganti ( vicarious liability), kualifikasi employer-employee, serta batasan batasan tanggung jawab tindak Pidana Kealpaan ( limitations of criminal liability for negligence).

BACA JUGA  Menguak Gangster India (5) Opini : ‘Pembunuhan Paling Keji’ dan Mengerikan terhadap Wanita 

Lihat Stein, ibid). Melalui Personal Injuries Act 1948.( United Kingdom Act Parlement).

Dengan berlaku nya personal Injuries Act 1948, maka pertanggungjawaban hukum kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan Injuries yang dulunya wilayah hukum administrasi ( pelanggaran kewajiban hukum tertentu) dan hukum perdata ( perjanjian kerja), kini Injuries ( luka – luka, kecacatan, kematian) yang didapat dari perintah kerja termasuk sebagai kejahatan terhadap tubuh dan jiwa.

Ketentuan ini juga menerbitkan bentuk pertanggungjawaban pidana, seperti kontribusi kealpaan pada kasus kematian pada kecelakaan kerja ( contributory negligence in fatal accident case) dan adanya pemberian sejumlah kompensasi karena cidera ( compensation for Injuries).

Hal ini dimaksudkan sebagai pemidanaan yang bertujuan mendorong pelaku dan orang lain agar bertindak lebih mengutamakan keselamatan kerja di masa depan karena dampak kematian pada kecelakaan kerja menimbulkan penderitaan bagi orang lain dan kerugian ekonomis ( humanis suffering and ekonomic losses) ( Smithfield, 1985, ibid., 15).

Peristiwa di Inggris ini kemudian memicu munculnya perundang-undangan perlindungan kerja ( arbeids bescherming wetten) atau employment protection di berbagai negara di kawasan kolonialisasi Inggris sejak tahun 1802, Eropa Barat, kemudian diikuti Jerman dan Perancis pada tahun 1840 dan Belanda setelah tahun 1870, diyakini merupakan perintis berkembang nya hak pekerja selain hak hak perburuhan (upah dan jam kerja), yakni hak atas kesehatan kerja dan hak keselamatan kerja (Hari Setia Tunggal, 2009, ibid).

Di era modern saat ini salah satu instrumen hukum yang diterbitkan oleh Internasional Labour Organization (ILO), yang berkaitan dengan urusan keselamatan dan kesehatan kerja, misalnya Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja nomor 155 tahun 1981, bahwa setiap negara anggota ILO harus memiliki kebijakan, konsep, dan rencana kerja untuk meningkatkan penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Untuk Indonesia penulis dalam Disertasi yang dipertahankan di depan Sidang Promosi Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia berjudul; Penyelesaian Tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja Melalui Keadilan Restoratif.

Adalah merupakan suatu konsep merealisasikan salah satu butir Konvensi Internasional Labour Organization Nomor 155 tahun 1981. (*)

 

 

* Oleh :  Dr. Hamonangan Albariansyah SH MH, Dosen Ilmu Hukum Pidana Bidang Keselamatan Kerja FH UNSRI Palembang

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button