Kisah Para Sahabat yang Rajin Berpuasa

MAKLUMATNEWS.com, PALEMBANG – Menyambut Puasa mendatang mari ki ta simak kisah dua sahabat yang rajin beribadah puasa.
Yang pertama adalah Abu Thalhah, salah satu sahabat nabi yang dikisahkan jenazahnya utuh karena memiliki kebiasaan berpuasa dan berjihad di dalam hidupnya.
Perjalanan hidup Abu Thalhah disebut dalam buku ‘Kisah Agung Sahabat Sahabat Mulia Nabi’ karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Al Basya.
Abu Thalhah selalu berpuasa bahkan setiap hari. Kecuali di hari-hari besar yang memang diharam kan untuk berpuasa. Ia juga merupakan sahabat yang telah setia berjihad bersama orang-orang Islam sejak masa Nabi, Abu Bakar, dan Umar ibn Khattab.
Di masa pemerintahan Usman bin Affan, ketika orang Islam hendak melakukan jihad melawan orang kafir yang telah menghalangi dakwah orang Islam, Abu Thalhah yang sudah sangat tua itu tetap semangat ingin mengikuti jihad.
Abu Thalhah bersama orang-orang Islam lainnya melewati laut yang besar. Mereka menaiki kapal besar untuk perjalanan menuju daerah musuh. Namun di tengah perjalanan Abu Thalhah sakit, dan pada saat itu pula ia meninggal dunia. Para muslimin tidak menemukan dataran untuk menguburkan jenazahnya hingga 7 hari. Jenazah Abu Thalhah hanya ditutupi kain saja.
Namun anehnya, jenazah Abu Thalhah tidak berubah selama 7 hari itu. Tidak ada bau menyengat. Jazadnya seperti tidur biasa.
Kisah kedua tentang sahabat Abu Yusuf.
Dalam Kitab An-Nawadir karya Syaikh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi rahimahullah diceritakan kisah sahabat Abu Yusuf yang diziarahi Rasulullah SAW berkat amalan puasanya .
Suatu hari Abu Yusuf Ya’qub bin Yusuf bercerita tentang salah seorang sahabatnya yang unik. Beliau dikenal seorang yang wara’ dan takwa meski orang-orang mengenal karibnya itu sebagai orang fasik dan pendosa.
Sudah 20 tahun Abu Yusuf melaku kan tawaf di sekitar Ka’bah bersamanya. Tak seperti Abu Yusuf yang berpuasa terus menerus (istiqomah), sahabatnya ini sehari puasa sehari berbuka.
Memasuki 10 hari bulan Dzulhijjah, sahabat Abu Yusuf ini menunaikan puasa secara sempurna kendati beliau berada di padang sahara yang tandus.
Bersama Abu Yusuf, beliau masuk Kota Thurthus dan menetap di sana untuk beberapa lama.
Di tempat gersang inilah, persisnya di sebuah kawasan reruntuhan bangunan, beliau wafat tanpa seo rang pun yang tahu kecuali Abu Yusuf.
Abu Yusuf pun keluar mencari kain kafan. Alangkah kagetnya tatkala dirinya kembali menyaksikan keru munan orang berkunjung, mengafa ni sekaligus menyalati jenazah sa habatnya di tempat yang semula tak berpenghuni itu.
Karena begitu ramainya, Abu Yusuf sampai tak bisa masuk lokasi reruntuhan bangunan itu. Para pelayat menyebut-nyebut almarhum sebagai orang yang zuhud dan termasuk dari kekasih Allah (waliyullah).
“Subhanallah, siapa yang mengumumkan kematiannya hingga orang-orang berbondong-bondong bertakziah, menyalati, dan menangisi kepergiannya?” tanya Abu Yusuf.
Setelah melalui perjuangan keras, Abu Yusuf berhasil menghampiri jenazah sahbatnya itu dan terperanjat saat melihat kain kafan yang tak biasa.
Pada kain itu tercantum tulisan berwarna hijau: “Inilah balasan orang yang mengutamakan ridha Allah ketimbang ridha dirinya sendiri. Orang yang rindu menemui-Ku dan karenanya Aku pun rindu menemuinya.”
Selepas melaksanakan salat jenazah dan menge bumikannya, rasa kantuk berat menghampiri Abu Yusuf hingga ia pun tertidur.
Dia bermimpi menyaksikan sahabatnya yang ahli puasa ini menunggang kuda hijau serta berpaka ian hijau dengan sebuah bendera di tangannya.
Di belakangnya ada seorang pemuda tampan berbau harum. Di belakang pemuda ini ada dua orang tua diikuti di belakangnya lagi satu orang tua dan satu pemuda.
“Siapa mereka?” tanya Abu Yusuf.
“Pemuda tampan itu adalah Nabi kita Muhammad SAW. Dua orang tua itu adalah Sayyidina Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sementara orang tua dan pemuda itu adalah Sayyidina Utsman dan Ali,” jawab sahabat Yusuf itu.
“Dan akulah pemegang bendera di depan mereka,” kata sahabatnya dalam mimpi itu.
“Hendak ke manakah mereka?” tanya Abu Yusuf.
“Mereka ingin menziarahiku.” Abu Yusuf pun kagum.
“Bagaimana kau bisa mendapatkan kemuliaan semacam ini?”
“Sebab aku memprioritaskan ridha Allah Ta’ala dibanding ridha diriku sendiri dan aku berpuasa pada 10 hari Dzulhijjah,” jawab sahabatnya.
Abu Yusuf pun terbangun dari tidurnya. Lalu sejak itu beliau tak pernah meninggalkan amalan puasa itu hingga akhir hayatnya.
Wallahu a’lam bishshawab ( Aminuddin/ pemerhati Keislaman).