Klasik dan Modern, Sifat Hukum Adat Tercermin dalam Putusan MKMK

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — TULISAN ini mencoba mengkaji filosofi masyarakat hukum adat yang berlaku sejak dahulu kala saat terjadinya suatu peristiwa hukum di mana tak ada yang bisa dipertanggungjawabkan secara individu sebagai pelaku.
Sehingga dalam konsep hukum adat yang menganut asas kolektivisme, maka masyarakat hukum adat harus menanggung resikonya secara kolektif memikul tanggung jawab itu secara bersama sama.
Mungkin ada benarnya konsep kolektif dalam masyarakat hukum adat itu tercermin dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie.
Jimly Asshiddiqie, lama penulis kenal sejak kami tergabung dalam pembentukan Sekretariat Bersama Perlindungan Masyarakat Hukum Adat saat beliau sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Dimana penulis duduk dalam Anggota Dewan Pakar bersama Dr. Saafroedin Bahar dan lain lain ( akta notaris nomor 44 tanggal 31 Januari 2007, akta notaris H. Asman Yunus, SH, notaris di Pekanbaru).
Kolektivisme adalah salah satu ciri masyarakat hukum adat yang berlaku di dalam pergaulan sehari hari, di mana kepentingan umum di atas kepentingan individu ( Holeman dan Ter Haar dalam Iman Sudiyat).
Djojodiguno, guru besar hukum adat di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan hukum adat itu bersifat klasik sekaligus modern.
Untuk membuktikan apakah pernyataan beliau tersebut ( Djojodiguno), masih relevan, untuk kita uji saat ini walaupun kita sudah memasuki dunia digital.
Klasik dimaksud bahwa hukum adat itu adalah hukum yang hidup tumbuh, berkembang di masyarakat hukum adat Nusantara sejak nenek moyang kita yang berlaku secara turun temurun guna mencapai keharmonisan hidup bersama.
Sedangkan modern adalah hukum adat itu tetap berlaku nilai nilai walaupun dunia sudah modern seperti contohnya sekarang.
Karena sifat modern tersebut hukum adat berciri plastik dan dinamis ( Iman Sudiyat).
Plastik bahwa hukum adat itu dapat diterapkan pada kasus kasus yang terjadi.
Dinamis bahwa hukum adat itu dapat berubah bentuk namun nilainya tetap berlaku sesuai situasi dan kondisi, ( hukum adat adalah hasil Budi dan daya manusia Ki. Hadjar Dewantara).
Dalam konteks putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sudah kita ketahui bersama bahwa pada tanggal 7 November 23, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah memutuskan pemeriksaan terhadap putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 90 PUU-XXI tahun 2023 tentang putusan penetapan batas usia minimal capres cawapres.
Yang diduga dalam proses pengambilan keputusan banyak pelanggaran kode etik sebagai profesi hakim. Terbukti ada 31 pelapor yang mengajukan keberatan, salah satunya Prof.Dr. Denny Indrayana SH.
Dari hasil penelitian Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari tiga orang anggota nya memutuskan bahwa di dalam proses dan pasca keputusan nomor 90 tahun 23 tersebut terdapat pelanggaran etika hakim .
Salah satu pelanggaran nya adalah kenapa hasil rumusan atau kesepakatan dalam sidang Mahkamah Konstitusi tersebut yang bersifat rahasia, sampai diketahui oleh publik, ( contoh media Tempo) yang disebut dalam pertimbangan hukumnya.
Setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengkonfirmasi kepada sembilan hakim mahkamah konstitusi; tak satupun yang mengetahui dan masing masing merasa tidak pernah menyampaikan kepada publik.
Karena tidak diketahui siapa pelakunya, namun secara fakta ada buktinya ( Majalah Tempo). membuat rillis berita; maka Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengambil keputusan bahwa Secara kolektif Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai Dr. Anwar Usman, SH., bertanggung jawab secara kolektif ( ciri hukum adat) yaitu mereka secara bersama sama ( 9 hakim MK) telah melakukan pelanggaran etik dengan diberi sanksi teguran ringan. (Ciri sifat hukum adat yang plastik dan dinamis).
Walaupun ada juga hakim diberi sanksi hukuman teguran tertulis karena telah menyampaikan secara terbuka di muka umum pada saat beliau menjadi pembicara.
Sedangkan ketua Mahkamah Konstitusi
Anwar Usman terbukti telah melakukan pelanggaran berat dengan sanksi diberhentikan sebagai ketua mahkamah konstitusi.
Kenapa Dr. Anwar Usman diberikan sanksi berat sampai diberhentikan sebagai ketua mahkamah agung?
Dari kacamata hukum adat hal itu wajar saja karena yang bersangkutan adalah sebagai orang yang memegang kekuasaan, dalam bahasa adat orang yang harus bertanggung jawab karena dia sebagai PANUTAN yang seharusnya berbuat sepantasnya.
Di dalam masyarakat hukum adat hukum orang yang menjadi panutan akan diberi sanksi yang berbeda dengan orang biasa.
Beda dengan hukum barat, malah terbalik bahwa semakin orang berkuasa semakin ringan hukuman nya.
Demikian beberapa kajian nilai hukum adat yang bersifat kolektif berlaku sampai sekarang tercermin dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di atas.
Jadi benar pendapat Prof.MM Djojodiguno,SH bahwa hukum adat itu bersifat klasik sekaligus modern.
Oleh : Albar Sentosa Subari, Dosen Purna FH Unsri dan Ketua Pembina Adat Sumsel