Ningkuk dan Warisan Tradisi Masyarakat Sumatera Selatan Oleh Anto Narasoma, Penyair dan Seniman Sumsel

DI BAWAH tahun 1990-an, masyarakat Sumatera Selatan kerap menggelar acara ningkuk’an, atau ruang perkenalan untuk muda-mudi. Acara itu digelar dengan cara mengungkap pantun atau bernyanyi.
———-
Meski pelaksanaan ningkuk kerap digelar berbarengan dengan acara pernikahan, namun ningkuk bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan permintaan masyarakat.
Hakikatnya, ningkuk merupakan permainan tradisi masyarakat Sumatera Selatan. Tiap daerah di Sumatera Selatan tidak ada yang tak mengenal ningkuk.
Hanya saja, saat ini acara ningkuk’an jarang sekali digelar. Bahkan tidak pernah terlihat lagi ada upaya untuk menggelarnya meski ada juga masyarakat yang kepingin melihat dan mengenal ningkuk sebagai permainan tradisi.
Kerapkali pertanyaan dilontarkan, mengapa tradisi ningkuk jarang digelar masyarakat saat ini? Pertanyaan ini sebenarnya memancing kepurhatinan kita atas tradisi yang mulai tergerus oleh peradaban modern itu.
Padahal tradisi ningkuk ini memiliki aspek kepribadian masyarakat yang bermuatan nilai-nilai cinta, kekeluargaan dan kekerabatan.
Seperti dikemukaan budayawan Melayu, Tenas Effendy, perkembangan zaman setidaknya bisa mengabaikan kebiasaan masyarakat tradisional. Karena itu tradisi ningkuk’an yang menjadi pavorit masyarakat di era 1980-an ke bawah itu, saat ini seperti mengalami degradasi sosial.
Sebab perkembangan sosial yang dibarengi dengan berkembangnya teknologi mutakhir di masyarakat, pada hakikanya akan “melupakan” tradisi lama yang berada di garis peradaban konvensional.
Tentu saja, tradisi lama ini akan menganut kebiasaan-kebiasaan lama yang berkaitan dengan pola kemasyaskatan dan tata nilai peradabannya.
Menurut Koentjaraningrat (1981: 63), nilai budaya Indonesia itu mengandung empat konsep komunitas kemanusiaan. Pertama, hidup manusia itu tidak sendiri. Ia dikelililingi komunitasnya, masyarakatnya, serta alam sekitarnya. Kedua, segala aspek kehidupan tergantung ke pada antarsesamanya. Ketiga, manusia harus selalu berusaha sedapat mungkin untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terkait oleh jiwa sama rata dan sama rasa. Sedangkan keempat, manusia sedapat mungkin, untuk bersifat konform, berbuat sama dalam komunitasnya, yang terdorong oleh rasa sama tinggi sama rendah (Analisis Kebudayaan Tahun III/No. 1 1981).
Karena itu kontens perilaku dalam acara ningkuk’an mengetengahkan format perilaku seperti yang dikemukakan Kuntjaraningrat tersebut.
Sebenarnya, pemerintah harus mendorong masyarakat untuk menumbuhkan kembali kegairahan (apresiasi) mereka menggelar acara ningkuk. Apalagi pengurus Pembina Adat se-Sumsel telah dikukuhkan Gubernur Sumatera Selatan H Herman Deru. Setidaknya ini peluang yang sangat baik untuk menghadirkan kembali tradisi ningkuk di tengah masyarakat kita.
Setiap tradisi, selain mengungkap nilai-nilai kebiasaan masyarakat, kontensnya untuk mengembangkan perilaku. Sebab perilaku masyarakat itu berisi sikap saling menghargai yang dilandasi sikap sama tinggi dan sama rendah.
Perilaku ini tentu akan melahirkan nilai-nilai peradaban luhur yang memiliki kontens cinta kasih antarsesama.
Karena itu pada prinsipnya, ningkuk merupakan permainan masyarakat untuk mengungkap segala emosi terkait nilai kebersamaan dan cinta kasih.
Karena itu ketika acara ningkuk digelar di tengah masyarakat, terutama bagi kaum muda, akan terjadi proses saling mengenal antara pemuda dan pemudi.
Mereka akan saling mempelajari lewat perilaku yang “malu-malu tapi mau”. Dari proses perkenalan inilah akan muncul perasaan suka (cinta) di antara peserta (pemuda-pemudi).
Pola permainan ini merupakan perilaku budaya tradisional di dalam unsur budaya Islam yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat Melayu.
Sebab relevansi perilaku dalam permainan itu digelar sebagai landasan ideal untuk membentuk kepribadiannya. Dalam menata permainan tradisi ningkuk, menghasilkan nilai-nilai kebersamaan, persahabatan dan cinta kasih.
Karena itu untuk melestarikan ningkuk sebagai permainan tradisi, hendaknya dijaga dan dibina dengan penuh kesetiaan. Kemudian diwariskan secara turun-temurun sesuai perjalanan kehidupan, menurut pola kebiasaan masyarakat Sumatera Selatan.
Sebenarnya, tiap tradisi yang terjaga oleh masyarakatnya akan menumbuhkan ketaatan individu sebagai pendukung warisan budaya (tak benda), sehingga melahirkan sikap fanatisme terhadap permainan tradisi ini.
Fanatisme terhadap kebudayaan daerah merupakan sisi yang menguntungkan. Jika di masa penjajahan, sikap fanatisme seperti ini bisa mengobarkan semangat konfrontasi untuk mengenyahkan penjajahan dari muka bumi Nusantara ini. Sikap mental yang bersumber dari esensi kebudayaan daerah inilah akan mampu menguatkan nilai-nilai jati diri masyarakat kita (Sumatera Selatan). (*)
Tirta Bening, 15 Maret 2020