OPINI

Perlunya Pendidikan Seks dalam Kurikulum Sekolah

Oleh: Abdurrahmansyah
(Dosen Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang)

 

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — ISU mengenai pendidikan seksual kembali hangat diperbincangkan setelah pemberitaan anak usia dini di Malang, dan Probolinggo menempatkan posisi tertinggi jumlah pengajuan dispensasi nikah. Pengajuan dispensasi nikah dilakukan karena syarat usia menikah yang ditentukan undang-undang belum terpebuhi. Usia pasangan yang mengajukan dispensasi nikah rata-rata di bawah umur.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis sepanjang tahun 2022, tercatat 15.212 pengajuan dispensasi nikah di Jawa Timur. Dari 38 kabupaten/kota di Jatim, tiga di antaranya tertinggi di Jatim yakni Malang, Jember, dan Probolinggo. Dari 15.212 pengajuan dispensasi nikah di Jawa Timur, 80 persen di antaranya karena faktor hamil duluan.

Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Kraksaan selama tahun 2022 telah memutus perkara dispensasi nikah sebanyak 1.152 perkara. Permohonan dispensasi nikah itu dilakukan karena usia calon pengantin, baik yang istri maupun suami kurang dari 19 tahun.

Menurut analisis para pakar, di antara faktor penyebab maraknya perilaku penyimpangan seksual di kalangan anak usia dini adalah lemahnya pendidikan seksual di rumah dan sekolah. Faktor penyebab lainnya adalah karena longgarnya pengawasan orang tua dan masyarakat, sistem nilai budaya dan agama yang makin pudar, pengaruh akses media sosial yang menawarkan konten seksual secara bebas, serta faktor pengaruh lingkungan sosial yang permisif terhadap pola prilaku remaja.

Tulisan singkat ini mencoba menganalisis pentingnya faktor penguatan kurikulum pendidikan dalam menangkal perilaku penyimpangan seksual di kalangan anak usia dini di Indonesia.

 

Menangkal Penyimpangan Seksual
Penyimpangan seksual dapat dimaknai sebagai segala perilaku seksual yang dilakukan di luar sistem nilai yang diakui masyarakat. Dalam masyarakat yang memegang teguh sistem nilai agama dan budaya menganggap hubungan seksual antara laki-laki dan wanita hanya layak dilakukan dalam ikatan perkawinan. Di luar ikatan perkawinan maka hubungan seksual antara lawan jenis dianggap sebagai penyimpangan seksual.

Secara formal menurut Undang-Undang tentang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 usia minimal batas seseorang boleh melakukan pernikahan adalah 21 tahun. Namun ketentuan itu direvisi pada Undang-Undang tentang Perkawinan nomor 16 Tahun 2019 dengan ketentuan batas usia minimal boleh melakukan pernikahan adalah 19 untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

Persoalannya bukan pada ketentuan undang-undang tersebut, tetapi justru pada problem sosial yang mengitari maraknya anak-anak usia dini yang terjebak pada hubungan seksual di luar nikah yang menyebabkan kehamilan. Faktor “hamil duluan” inilah yang mendorong orang tua korban untuk segera menikahkan anaknya untuk menutup aib dan rasa malu.

BACA JUGA  Menjadi Selebriti Langit Oleh Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A

Sementara itu, ketentuan undang-undang justru belum mengakomadasi usia anak tersebut untuk melangsungkan pernikahan karena masih di bawah umur. Fenomena inilah yang dikenal dengan upaya pengajuan dispensasi nikah agar anak perempuan yang hamil di bawah umur dapat “dilegalkan” dalam ikatan perkawinan dini sehingga beban psikologis anak dan keluarga dapat diatasi.

Fenomena anak di bawah umur yang hamil di luar nikah dengan jumlah yang fantastis sangat menyentak sekaligus membuat miris. Fenomana ini nampaknya merata hampir di seluruh kota di Indonesia.

Dari sudut pandang sosiologi agama, gejala ini menunjukkan semakin lemahnya fungsi-fungsi agama sekaligus kurang fungsionalnya pendidikan agama yang diajarkan di keluarga dan lembaga pendidikan.

Keluarga dan sekolah dianggap gagal dalam menanamkan nilai-nilai sehingga membentuk karakter kuat di kalangan anak-anak untuk tidak melanggar larangan agama atau sistem nilai adat terkait hubungan seksual di luar nikah.

Suku-suku adat dan komunitas budaya di Indonesia rata-rata menolak hubungan seks di luar ikatan perkawinan yang sah. Bahkan ajaran agama menempatkan hubungan seksual sebagai sesuatu yang sakral dan hanya boleh dilakukan jika telah disahkan secara agama melalui upacara dan tata cara perkawinan tertentu.

Sebagai misal, dalam tradisi adat masyarakat Islam Melayu Palembang yang tercantum pada Kitab Undang-undang Simbur Cahaya di masa kesultanan Palembang telah mengatur sedemikian rupa pola pergaulan muda mudi sehingga sangat terlihat sisi penghormatan terhadap martabat wanita yang tidak boleh dilecehkan.

Pelanggaran terhadap hukum adat ini akan berakibat pada ditolaknya seseorang sebagai bagian dari sistem adat dan harus membayar denda yang sangat tinggi dan memberatkan.

Sedemikian tingginya sistem adat dalam mengatur pola pergaulan anak-anak dan remaja sehingga hampir seluruh warga mengerti, menyadari, dan mentaati sistem nilai ini sebagai hukum yang sangat mengikat.

Seiring perkembangan zaman, sistem nilai berbasis kearifan lokal ini dihilangkan dan praktis masyarakat tidak memiliki sistem kontrol adat untuk menjaga pola pergaulan remaja.

Pendidikan agama di sekolah dikesankan cenderung normatif dan kurang efektif karena tidak bersifat kontekstual mengajarkan aspek-aspek praktis dari kehidupan para remaja dan anak-anak sekolah. Pendidikan seksual dianggap tabu, sehingga dapat dipastikan anak-anak sekolah tidak mendapatkan materi positif mengenai dampak hubungan seksual di luar nikah.

BACA JUGA  Meniti Jalan Menuju Hidup yang Tenang

Di pondok pesantren sejak lama dikenal beberapa konten pendidikan seksual berbasis ajaran Islam. Di antara kitab yang khusus berisi pendidikan seks di rumah tangga, antara lain Qurrotul Uyun bi Syarhi Nadzam Ibn Yamun karya Syekh Muhammad at-Tahami Ibnu Madani; Uqudul Lujain karya Syekh Nawawi al-Bantani; Dhau’al-Misbah fi Bayani Ahkam an-Nikah karya K.H. Hasyim Asy’ari; Fathul Izar karya Agus Abdullah Fauzi; Irsyadu Zaujain karya Muhammad Utsman, serta kitab Hukmul Jima’ karangan Mawla Ahmad Sulaiman Akmal Basya.

Kitab-kitab ini menerangkan berbagai aspek mengenai hubungan seksual yang hanya dilakukan dalam ikatan perkawinan. Sisi etika seksual sangat ditekankan hampir pada semua kitab tersebut. Bahkan kitab yang disebut terakhir sangat populer pada masyarakat melayu Palembang di masa kesultanan karena diajarkan oleh penghulu kepada calon pasangan pengantin sebagai bagian dari pendidikan pra-nikah.

Saat ini pendidikan seksual tidak diorganisasikan secara terprogram. Menurut hemat penulis, pemerintah perlu mempertimbangkan pendidikan seksual (sex education) dalam kurikulum sekolah.

Namun konten, metode pembelajaran, dan pengembangan media pembelajaran perlu disusun secara efektif dengan mempertimbangkan aspek etika, substansi, teori, dan konsep pendidikan seksual yang dibutuhkan peserta didik.

Tujuan pendidikan seksual adalah untuk memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk menghindari hubungan seksual di usia dini kepada peserta didik agar mampu memahami konteks pergaulan pria dan wanita terkait dengan aspek seksual.

Peserta didik mampu bersikap positif mengenai aspek-aspek seksual sehingga sangat menyadari mudhorat yang timbul jika melakukan hubungan seksual di usia dini. Dampak negatif hubungan seksual yang tidak sehat berupa penularan penyakit seksual, resiko kanker rahim, dan resiko kematian melahirkan di usia dini akan sangat efektif diajarkan melalui kurikulum sekolah yang terencana dan terprogram.

Bercermin dari fenomena tingginya tingkat kehamilan siswa di luar nikah yang viral akhir-akhir ini, kiranya semua komponen masyarakat perlu berpikir jujur dan jernih. Tinggalkan pola-pola berpikir hipokrit karena hanya akan mengaburkan kita dari menemukan solusi akurat dan efektif dari masalah besar ini.

Faktor pendidikan harus dianggap sebagai dimensi utama untuk mengurai dan mengeleminasi problem penyimpangan seksual di kalangan anak-anak usia dini di negeri ini.

Wallahu A’lam bi al-Shawwab.***

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button