Rektor Universitas IBA Dr. Tarech Rasyid Baca Puisi Wiji Thukul Sambut Aktivis ’98 Pius Lustrilanang

MAKLUMATNEWS.com – Ketika aktivis 98 yang pernah diculik rezim Orde Baru, Pius Lustrilanang bernostalgia di Kampus Reformasi Palembang, Universitas IBA, sang Rektor yang juga aktivis 98 Dr. Tarech Rasyid menyambutnya dengan baca puisi karya Wiji Thukul.

Pius Lustrilanang yang asli wong Palembang dan sekarang diamanahi sebagai Anggota VI BPK-RI ini, “mudik” ke kota kelahirannya ini, menyampaikan kuliah umum dan bedah buku ALDERA Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999, “Menyambut 25 Tahun Reformasi” di Universitas IBA Palembang, Jumat, 27 Januari 2023. Banyak aktivis ’98, seniman, para dosen, wartawan, tokoh pemuda dan perempuan, mahasiswa menaruh atensi perhelatan DR Pius Lustrilanang SIP, Msi, CFRA,CSFA ini. Narasumber bedah buku adaah H.Yudi Fahrian, SH,Mhum, Dosen Universitas IBA, Ir. Yulian Junaidi, MSI, Penggerak Organisasi Rakyat.
Rektor Universitas IBA Dr.Tarech Rasyid menutup sambutannya dengan membaca puisi Wiji Thukul yang dianggapkannya masih sangat relevan untuk situasi sekarang ini.
Sebagaimana diketahui, Wiji Thukul merupakan penyair sekaligus aktivis yang ikut melawan penindasan rezim orde baru. Wiji Thukul dikenal dengan puisi-puisinya yang kritis dan mengungkapkan berbagai ketidakadilan.
Wiji Thukul kerap menyuarakan perlawanan lewat karya-karya puisinya. Namun, pada era orde baru, kritik lewat puisi sudah dianggap merujuk pada pemberontakan.
Hal itu dikarenakan orang-orang yang vokal dengan gagasan demokrasi substansi, dianggap berbahaya bagi ketertiban umum.
Kemudian pada 1998, Wiji Thukul hilang dan tak diketahui lagi nasibnya hingga saat ini.
Kendati demikian, Wiji Thukul masih dikenang terutama lewat karya puisi-puisinya. Puisi Wiji Thukul ditulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami banyak orang.
Banyak puisi-puisi Wiji Thukul yang bisa dikatakan masih abadi hingga sekarang. Rektor Universitas IBA Dr. Tarech Rasyid membacakan satu puisi penyair ini berjudul : Peringatan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gasat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Dalam sambutannya, Pius Lustrilanang secara berseloroh berucap dirinya salah pilih tempat untuk bedah buku ini. “yang hadir semua aktivis di kampus yang memang terkenal di era reformasi dulu”. Namun dirinya mengaku sangat gembira karena para aktivis 98 dulu, sekarang ini ada yang sudah jadi rektor dan dosen. “Dengan mengambil profesi ini, maka pemikiran-pemikiran kritis akan tetap bisa disampaikan kepada mahasiswa,” ujar Pius yang juga bercerita seputar proses pembebasannya sesuai penculikan. (*)
Editor : Aspani Yasland