OPINI

Bung Hatta dan Piagam Jakarta

Oleh : Albar Sentosa Subari, Mantan Dosen FH Unsri dan Ketua Pembina Adat Sumsel 

 

MAKLUMATNEWS.com, Palembang –TULISAN ini sedikit akan mengutip latar belakang dan harapan Bung Hatta terhadap penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang telah disepakati dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945.

Kutipan tersebut saya ambil dari buku beliau berjudul Sekitar Proklamasi, penerbit Tintamas, Jakarta, 1970. Di halaman akhir dari buku tersebut, dengan harapan agar generasi muda dapat mengetahui jalan nya proses menuju Indonesia merdeka.

Sebagai mana sudah kita ketahui bahwa setidaknya sudah saya turunkan cerita pada tulisan terdahulu bahwa Bung Hatta menerima telpon dari tuan Nisjidjima, pembantu Admiral Mayeda menanyakan, dapat kah beliau menerima seorang opsir Kaigun (angkatan Laut), karena mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia.

Nisjidjima sendiri akan menjadi juru bahasa nya. Bung Hatta mempersilahkan mereka datang. Opsir itu beliau lupa namanya memberi tahu bahwa wakil wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai oleh angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat bagian kalimat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluk-pemeluknya.

Karena bagian itu tidak mengikat mereka yang hanya untuk orang Islam saja, …… berarti mengadakan “diskriminatif” terhadap golongan minoritas.

Hatta menjelaskan bahwa itu bukan diskriminatif, sebab itu hanya mengenal yang beragama Islam.

Waktu merumuskan Pembukaan UUD 1945 itu. Mr. Maramis yang ikut dalam panitia sembilan, tidak mempunyai keberatan apa apa dan ikut menandatangani piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Bung Hatta saat itu terbayang apakah Indonesia yang baru saja terbentuk akan pecah lagi karena suatu hal yang dapat diatasi? .

Kalau Indonesia pecah, pasti daerah luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik Devide et Impera, politik memecah belah dan menguasai.

Karena begitu serius rupanya, esok pagi nya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, bung Hatta mengajak Ki Bagoes Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Tengku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan hal itu.

Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan KETUHANAN YANG MAHA ESA.

***

DALAM sidang 15 menit itu , pemimpin pemimpin bangsa di atas tadi menunjukkan benar benar mementingkan nasib dan persatuan negara.

Pengakuan bung Hatta dan kawan kawan saat itu menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta Tidak Lenyap dengan menghilangkan perkataan Ke- Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluk-pemeluknya, menggali dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.( Lihat Pasal 29 UUD 1945- sebagai kompensasi dari hilangnya tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945).

Dalam Negara Republik Indonesia yang memakai kemudian semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai umat Islam dapat dimajukan sebagai rencana undang undang ke Dewan Perwakilan Rakyat, setelah diterima DPR MENGIKAT umat Islam di Indonesia.

Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam di Indonesia suatu sistem syariah Islam yang teratur dalam undang undang, berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.

***

PERBEDAAN hukum antara penduduk yang beragama Islam dan beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga, bidang hukum perdata lainnya, hukum pidana, hukum perniagaan tak perlu ada perbedaan.

Perubahan tersebut disetujui oleh orang lima dalam sidang lengkap Panitia Persiapan Kemerdekaan dengan suara bulat terdiri dari Ir. Soekarno ( ketua), Mohamad Hatta ( wakil ketua), dr. Radjiman Wedyodiningrat, Mr. Supomo, Purbojo, Wachid Hasyim, dr.Mohammad Amir, Tengku Mohammad Hasan, Mr. Latuharhary, I. Gusti Ketut Pudja, AA. Hamidan, Otto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, R. Pandji Suroso, M.Sutardjo Kartohadikusomo, Surjahamidjojo, Ki Bagoes Hadikusumo, Mr. Abdul Abbas, Dr. Ratulangi, Andi Pangeran dan Yap Tjiwan Bing.

Sebelum sidang dibuka bung Karno mengumumkan jumlah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan ditambah dengan enam orang lagi, yaitu Winata Kusuma, Ki Hadjar Dewantara, Mr.Kasman Singodimedjo, Sayuti Melik, Mr. Iwa Kusumah Sumantri dan Mr. Subardjo.

Sebetulnya mula mula akan ditambah 9 orang baru, tetapi Sukarni, Chairul Saleh dan Adam Malik menolak keanggotaan mereka, sebab Panitia Persiapan Kemerdekaan itu mereka anggap buatan Jepang.

***

SEBAGAI penutup artikel ini momen kita memperingati hari lahir Pancasila dan Piagam Jakarta serta hari Konstitusi ( 1 Juni 1945, 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945)

Mungkin perlu menurut penulis kita mengutip ucapan mantan Menteri Agama, Jenderal Alamsyah Ratu Perwira negara, menamakan Pancasila hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.

Hal ini telah beberapa kali diucapkan nya, yang terakhir pada Dies Natalis Institut Ilmu Al-Quran pada tanggal 25 April yang lalu.

Menteri Agama mengarahkan telunjuknya kepada bapak Kasman Singodimedjo yang hadir pada upacara itu, sebagai salah seorang wakil umat Islam yang ikut serta dalam pemberian hadiah itu.

Bapak Kasman adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang hadir pada rapat 18 Agustus 1945, dan salah seorang yang ikut serta lobbying yang diadakan oleh bung Hatta untuk menghilangkan tujuh perkataan Piagam Jakarta tersebut.

(Lihat H. Endang Saifuddin Anshari, MA, dalam bukunya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebuah konsensus nasional tentang dasar negara Republik Indonesia ( 1945-1949). G ma Insani Press Jakarta 1997.halaman XV – dalam kata pengantar Mr. Mohammad Roem).

 

 

Catatan Penulis : Tambahan informasi mungkin ada pembaca yang ingin mendalami Piagam Jakarta 22 Juni 1945, menurut penulis, yang saat ini saya temukan baru buku H. Endang Saifuddin Anshari MA ini rasanya yang lengkap.

Buku tersebut berasal dari Thesis beliau syarat mendapat gelarvMaster of Arts ( Magistrum Artium) di Institut of Islam Studies MC Gill University, Montreal, Canada 1976, bertajuk The Jakarta Chapter of June 1945: A History of the Gentleman ‘s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia. 

Tesis tersebut telah diterbitkan dalam edisi aslinya oleh Muslim Youth Movement of Malaysia, Kuala lumpur, 1979.

Edisi Indonesia telah dimuat berturut turut dalam Panji Masyarakat No. 296 ( 1 Juni 1980) sampai No. 318 ( 20 Maret 1981).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button