Khutbah Jumat : Menyingkap Pesan Rahmatan Lil Alamin dari Perjalanan Isra’ Mi’raj

Khutbah Jumat
Menyingkap Pesan Rahmatan Lil Alamin dari Perjalanan Isra’ Mi’raj
MAKLUMATNEWS.com, Palembang —Hadirin sidang Jumat rahimakumulllah
Marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala. Bersyukur atas segala nikmat yang telah Dia berikan dan kita rasakan, termasuk nikmat menjadi umat Muslim yang hidup di tengah negeri tercinta yang sebentar lagi menyelenggarakan hajatan besar Pemilu Serentak.
Semoga semuanya berjalan dengan aman, lancar, tenteram dan damai. Semoga keadaan yang kondusif ini tetap terus dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan yang semakin kokoh.
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan keluarga, serta sahabat beserta seluruh pengikutnya ila akhiriz zaman.
Semoga kita tergolong bagian dari ummat yang dicintainya, sehingga kelak akan mendapat syafaatnya di yaumil qiyamah, amiin.
Jamaah kaum Muslimin rahimakumullah
Dalam kesempatan ini juga mari kita sama sama tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Mari kita tingkatkan kesadaran dalam diri kita akan kehadiran-Nya.
Karena hanya dengan kesadaran inilah kita akan terjaga dari segala bentuk penyimpangan, sekaligus terus termotivasi untuk menunaikan kebaikan-kebaikan.
Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita, karena taqwa adalah satu-satunya bekal yang akan menyelamatkan kita dalam menempuh perjalanan menuju Allah subhanahu wata’ala.
Salah satu bentuk implementasi ketaqwaan itu, kita harus banyak banyaklah bersyukur kepada Allah, kita terlahir sebagai umat muslim yang hidup di tengah negeri yang damai.
Kita sebagai bangsa dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang terbukti mampu menunjukkan kedewasaannya dalam berdemokrasi.
Negeri dengan komponen bangsa yang beraneka ragam suku, bahasa dan agama tetapi saling berdampingan dan saling menghormati satu sama lain.
Negeri yang telah didirikan dan dibangun oleh para pahlawan bangsa dengan tetesan darah dan air mata. Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Khatib sampaikan perihal ini, karena akhir-akhir ini mulai banyak dari kita yang kurang menyadari akan nikmat tersebut. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:
“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim [14]: 7).
Kaum Muslimin hadaniyallah waiyyakum ajmain
Kita kini telah memasuki bulan Rajab bulan di mana terdapat peristiwa agung yang senantiasa diperingati kaum muslimin yaitu peringatan Isra dan Mi’raj, salah satu peristiwa yang sangat penting dalam sejarah dakwah Islam.
Peristiwa diisra’ dan dimi’rajkannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Isra mi’raj adalah peristiwa bersejarah, perjalanan spiritual yang pernah dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang memiliki nilai-nilai luhur yang akan tetap aktual sepanjang zaman.
Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar kalau peristiwa penting ini selalu diperingati oleh umat Islam di seluruh penjuru bumi, termasuk di negeri kita tercinta ini.
Terlebih dalam suasana kehidupan kita saat ini yang diwarnai dengan berbagai intrik menjelang pelaksanaan pemilu serentak ini yang jika tidak segera diantisipasi maka dapat mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mari kita jadikan peristiwa Isra’ Mi’raj ini sebagai momentum mengaktualisasikan kembali nilai-nilai Islam rahmatan lilalamin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin damai, tertib dan bermartabat.
Kehidupan berbangsa yang damai dan tentram adalah prasyarat utama menuju bangsa yang maju dan sejahtera.
Kaum Muslimin rahimakumullah
Penegasan tentang Islam sebagai agama rahmatan lilalamin menjadi sangat relevan, terutama dalam kondisi bangsa yang Tengah menghadapi tantangan besar yaitu gelaran pemilu serentak yang saat ini kita selenggarakan.
Sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai salah satu cerminan Islam rahmatan lilamin tersebut dalam konteks kehidupan beragama maupun berbangsa pada saat ini:
Pertama, peristiwa Isra’ yang berarti perjalanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Peristiwa itu memberikan isyarat kepada kita, bahwa manusia perlu membangun komunikasi sosial/horizontal.
Pada peristiwa Isra’, perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersifat horizontal: dari bumi yang satu ke bumi lainnya, yang disimbolkan dari masjid ke masjid, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.
Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial atau kemasyarakatan secara nyata.
Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena bukankah telah disebutkan sendiri oleh Nabi al-dinu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).
Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketika ia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu, diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturahmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesalehan sosial”.
Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan.
Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan perilaku-perilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya, seperti melakukan korupsi, kecurangan, penipuan, membicarakan aib dan kejelekan orang lain, menebarkan fitnah, hingga memelihara perpecahan dan konflik berkepanjangan.
Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Sebab salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi sosial yang baik dengan sesamanya, sesuai dengan akhlak-akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagaimana hal ini telah diajarkan pula oleh Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) dalam salah satu “piwulang” nya kepada Raden Sa’id (Sunan Kalijaga): “marsudi urip rukun, nuju nur alam cahyaning sejati” (bahwa menjalin hubungan baik dengan sesama adalah wujud kematangan spiritual dan kesempurnaan iman seseorang).
Peristiwa Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha juga memberi isyarat bahwa semestinya antara satu masjid dengan masjid lainnya harus ada sinergi atau kerjasama yang harmonis dalam membangun kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat secara luas.
Jangan sampai masjid justru hanya dijadikan sebagai ajang untuk membentuk ideologi sektoral secara eksklusif dan sempit, yang justru merusak jalinan ukhuwwah antar umat Islam.
Misalnya, dengan mudah orang lalu mengkafirkan atau membid’ah-kan kelompok lain yang berbeda, apalagi masjid lalu dijadikan sebagai tempat untuk menanamkan ideologi politik “keislaman sempit” yang anti-Pancasila dan NKRI sebagaimana yang saat ini marak di berbagai tempat.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah subhanahu wata’ala.
Perjalanan spiritual itu memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Tuhannya:
Allah subhanahu wata’ala, sehingga terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri, hingga berani melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atau pun pelanggaran hukum yang banyak merugikan orang lain.
Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Nilai-nilai kejujuran harus terus ditegakkan untuk melawan segala bentuk de-moralisasi. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting.
Fenomena seperti “nyontek massal” yang masih sering dilakukan para pelajar pada saat Ujian Nasional, ataupun “budaya” korupsi yang dilakukan semakin terang-terangan, adalah potret buram bagi dunia pendidikan maupun birokrasi pemerintahan kita, bahkan fenomena ini telah menjalar ke tengah-tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan praktik-praktik manipulatif.
Nilai falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung) telah dicampakkan sedemikian rupa, dan diganti dengan slogan “sopo sing jujur malah kajur” (orang yang jujur akan hancur).
Padahal kita tahu, bahwa kejujuranlah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah subhanahu wata’ala.
Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh nikmat-nikmat apapun.
Namun, di sinilah nampak sifat keluhuran dan keluarbiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan demi keselamatan umatnya.
Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia.
Itulah cermin bahwa beliau adalah seorang manusia paripurna (insan kamil) sekaligus seorang sufi sejati, yang tidak hanya berpredikat shalih (berkepribadian baik secara personal), tetapi juga seorang mushlih (menjadikan orang lain menjadi baik).
Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat penting, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang: baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun min Allah); antara dirinya dengan sesamanya (hablun min al-nas); maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’a al-bi’ah).
Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Sedemikian pentingnya shalat, sehingga perintah itu diterima langsung oleh Nabi tanpa melalui perantara Malaikat Jibril.
“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama.” Demikian sabda Nabi.
Namun hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ritual shalat tersebut.
Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya.
Al-Quran mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan bahkan dianggap celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di balik shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4).
Jamaah Jumat yang berbahagia.
Shalat mengajarkan kita akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka, salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya.
Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri?!
Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra Mi’raj sebagai wujud nilai Islam rahmatan lilalamin serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. (Detik.com)
* Naskah khutbah Jumat disusun oleh Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag RI, Dr. KH. Adib Muhammad, M.Ag.