OPINI

Syukron [Katsiron] atau Jazakallah [Khairan]? Arti, Makna, dan Penggunaannya

MAKLUMATNEWS.com — Ya, dua kosakata bahasa Arab itu biasanya diucapkan oleh seseorang untuk mengekspresikan balas budi atas kebaikan atau jasa orang lain kepadanya. Secara sederhananya, dua kosakata itu mungkin bisa kita sepadankan dengan ungkapan terima kasih dalam Bahasa Indonesia.

Kata syukran berasal dari kata kerja (verba) syakara. Verba syakara itu sendiri, menurut Kamus Mukhtâr Ash-Shihâh, berasal dari kata syakîr, yaitu cabang atau ranting pohon yang baru muncul. Syakarat asy-syajarah mengandung arti ‘pohon itu memunculkan cabang atau ranting baru’. Kata kuncinya di sini adalah muncul yang dalam buku Tesaurus Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa (2008) disepadankan dengan keluarlahir, mencuat, mengemuka, menyembul, terbit, timbul.

Tentu saja ada korelasi antara kata syakîr ‘muncul’ ini dengan kata syukran ‘terima kasih’, yaitu bahwa syukr (diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi syukur) atau terima kasih adalah ungkapan mengemukakan pujian atas jasa orang lain. Termasuk dalam relasi antara manusia dengan Tuhan, bersyukur adalah mengemukakan pujian sekaligus memperlihatkan (memunculkan) perbuatan baik sebagai buktinya.

Syakûr, yang akar katanya sama dengan kata syukran, adalah salah satu nama atau sifat Allah. Allâh Asy-Syakûr sering diterjemahkan dengan Allah Maha Mensyukuri. Apakah itu artinya Tuhan berutang budi kepada makhluk-Nya sehingga perlu berterima kasih? Berutang budi, tentu saja tidak. Tetapi bahwa Allah menunjukkan dan memperlihatkan karunia-Nya lagi dan lagi kepada manusia, itu iya. Allah membalas ketaatan manusia dengan memberikan pahala kepadanya. Karena itu, ucapan syukran sebenarnya baik-baik saja diucapkan sebagai pengganti terima kasih. Tidak ada masalah dengan kata syukran.

Terkadang kata syukran ditambah dengan katsîran yang  berarti ‘banyak’. Syukran katsîran berarti ‘terima kasih banyak’. Selain syukran katsîran, juga digunakan, bahkan secara lebih luas dan lebih sering, ungkapan syukran jazîlan.

Sebagian orang kita lebih suka memilih ungkapan jazâkallâh (jazâkillâh, jazâkumullâh) daripada syukran. Boleh jadi alasannya adalah bahwa di dalam kata syukran tidak terkandung doa seperti yang terkandung di dalam ungkapan jazâkallâh. Memang, ungkapan jazâkallâh secara harfiah mengandung arti ‘semoga Allah membalas [kebaikan]-mu’.

BACA JUGA  Tari Tanggai dan Sejarah Munculnya

Ada juga ungkapan yang lebih lengkap dari itu, yaitu jazâkallâh khairan, atau lebih lengkap lagi jazâkallâh khairan katsîran. Jazâkallâh khairan berarti ‘semoga Allah membalas [kebaikan]-mu dengan kebaikan’, sedang jazâkallâh khairan katsîran berarti ‘semoga Allah membalas [kebaikan]-mu dengan kebaikan yang banyak’. Secara kaidah bahasa, khairan dan khairan katsîran harus diucapkan seperti itu (bunyi bagian akhirnya harus –an) karena posisinya sebagai objek. Keliru, sekali lagi secara kaidah bahasa, kalau kita mengucapkan jazâkallâh khair.

Nah, kalau substansinya ada pada doa, maka ungkapan mudah-mudahan Allah membalas kebaikanmu itu sejatinya sama dengan ungkapan jazâkallâh. Hanya beda bahasa, tetapi sama makna. Ungkapan muga-muga panjenengan diparengi Gusti Allah pahala juga sama maknanya dengan jazâkallâh. Yang satu bahasa Jawa, yang satu lagi bahasa Arab. Intinya sama. Maknanya sama.

Berbeda dengan bahasa Indonesia, kata ganti orang kedua dalam bahasa Arab lebih beragam. Klitik -ka digunakan untuk kata ganti orang kedua tunggal maskulin, dan klitik -ki untuk kata ganti orang kedua tunggal feminin. Dalam bahasa Indonesia, kedua kata ganti laki-laki dan perempuan itu sama, yaitu -mu. Itu artinya, jazâkallâh diucapkan kepada satu orang laki-laki, sedangkan jazâkillâh diucapkan kepada satu orang perempuan.

Karena perbedaan ragam bahasa ini, tidak jarang terjadi kesalahan penggunaan di kalangan anak muda kita yang semangat keberagamaannya lagi tinggi. Mungkin karena didorong oleh rasa ingin lebih religius, atau ingin lebih mengamalkan agama dengan baik, seorang mahasiswi mengucapkan jazâkillâh kepada dosen laki-lakinya. Atau sebaliknya, seorang mahasiswa mengucapkan jazâkallâh kepada dosen perempuannya. Itu keliru. Itu tidak tepat secara bahasa. Bahkan terkesan “lucu”.

BACA JUGA  Hidup Ini Mudah, Jangan Dibuat Sulit

Untuk menjadi religius tidak melulu harus serba bahasa Arab. Keanekaragaman bahasa itu sendiri adalah salah satu tanda kebesaran Allah, seperti antara lain disebutkan dalam QS Ar-Rûm [30]: 22): Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Wallahu a’lam. [Artikel ditulis Muhammad Arifin yang dinukil dari nikmatislam.com]

Editor : Aspani Yasland

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button