KELUARGA

Untung Ada Allah, Bersyukur di Usia 60 Tahun

MAKLUMATNEWS.com— Di sore itu, telepon genggam saya tiba-tiba berdering, saya lihat,  ternyata yang menelepon adalah Bang Eman Saragih, Redaktur Eksekutif Media Indonesia, bos besar. Wow…apa gerangan yang terjadi? Tugas apa? Kejadian apa yang besar tengah terjadi di Sumatera Selatan? Berita penting apa ini?, Begitulah sejumlah pertanyaan dalam hati sebelum menyambut telepon Bang Elman, panggilan akrabnya.

Segera saya sambut, “halo bang, selamat sore. Tanpa basa basi lagi dengan nada tinggi, Bang Elman langsung ngegas, berucap,” Aspani, kau ini memang agak keras kepala, nulis berita macam-macam terus, sekarang ini kita diadukan ke Dewan Pers lagi” .

“Berita apa, Bang,” tanya saya.

“Itu Direksi PTBA mengadukan berita kau ke Dewan Pers,” kata Sang Bos dengan suara bariton-nya.

“Oh..kalau begitu dimana letak salahnya berita PTBA itu, Bang,” jawab saya lagi.

“Ah..dak usahlah kita berdebat, mulai besok kamu tak usah lagi bekerja, kamu saya berhentikan, nanti tunggu SK-nya,” tegas Bang Elman langsung menutup teleponnya.

Bagai petir menyambar di sore yang bolong, saya tertegun panjang, berakhirlah alat mencari nafkah yang selama ini menghidupi keluarga saya.

Beberapa hari kemudian, datang sepucuk surat ke rumah. Surat berkop-Media Indonesia tertanggal 4 April 2008 yang isinya,” Manajemen memutuskan ikatan kerja dengan Saudara sebagai Koresponden Palembang terhitung sejak tanggal 11 April 2008,” yang ditanda-tangani Elman Saragih, Kadiv Pemberitaan PT Citra Media Nusa Purnama, yang menerbitkan koran Media Indonesia. Resmi sudah PHK-saya, no job again.

Dua setelah itu, bad news ini, saya kabarkan ke isteri saya, Nenny Marniaty, yang berkerja sebagai PNS di Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikulutura Sumsel. Alhamdulillah, pendamping setia saya yang telah memberikan 4 orang buah hati laki-laki semua ini, intinya tidak mempersoalkannya, cenderung menerima saja dan menyarankan mencari pekerjaan lain.

Seminggu setelah SK PHK turun, tiba-tiba saya ditelepon oleh Pemimpin Redaksi Media Indonesia, Bang Saur Hutabarat, yang merupakan atas langsung Bang Elman.

“Aspani, kau segera ke Jakarta, belilah tiket dulu, nanti diganti di kantor,” kata Bang Saur, panggilan akrabnya.

“Ada apagi Bang, saya kan sudah dipecat,” cetus saya.

“Begini,” lanjut orang kepercayaan Bang Surya Paloh ini. “Coba Aspani jelaskan detil kronologis pemberitaan PTBA tersebut kepada saya, nanti bisa kita jadikan bahan untuk sidang di Dewan Pers”.

Kepada Bang Saur, saya ungkapkan bahwa kaus pemberitaan mengenai Direktur Umum PTBA yang mengatakan banyak investor Jakarta yang menguasai tambang batubara PTBA (Tambang Batubara Bukit Asam), sudah tidak ada masalah lagi karena Bang Elman sudah ketemu dengan Direksi PTBA dan mencabut pengaduan di Dewan Pers. Informasi ini saya dapat bocoran dari “orang kepercayaan direksi”.

“Jadi Bang Saur, maaf saya tidak akan ke kantor, untuk apa lagi,” ucap saya kepada Bang Saur.

“Pokoknya Aspani ke Jakarta dulu, nanti kita bicara yang lain-lain,” pinta Bang Saur.

Akhirnya, saya tidak penuhi permintaan Bang Saur tersebut, sehingga saya benar-benar tidak lagi menjadi wartawan Media Indonesia di Palembang.

Apapun fakta yang terjadi, alhamdulillah saya sudah menimbah pengalaman jurnalistik di koran berpengaruh di tanah air ini selama 16 tahun (1992-2008). Saya bisa berkerja di harian yang beralamat di Jalan Gondangdia, Jakarta tersebut karena direkomendasi oleh Bang Emron Pangkapi (pernah menjadi Ketua DPRD Bangka Belitung), yang waktu itu adalah Redaktur Nusantara. Menjadi wartawan Media Indonesia merupakan kelanjutan kerja saya dari Harian Sumatera Ekspress (Sumeks) di Palembang. Koran harian ini  juga milik Bang Surya Paloh lewat PT Surya Persindo yang berdiri tahun 1990 dan hanya bertahan dua tahun setelah itu tutup. Adalah sahabat saya Tarech Rasyid yang berjasa membawa saya bisa berkerja sebagai wartawan di Sumeks. Sejak saya tamat Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembangtahun 1988, rekan Tarech (sekarang Rektor Universitas IBA Palembang) yang sudah cabut dari harian Sriwijaya Post Palembang inilah yang mengajak alias “memaksa” saya bertemu Bang Sabar Hutapea di Hotel Arjuna Palembang, sehingga diterimalah saya dengan nol pengalaman jurnalistik.

Tarech juga sudah mengubah jalan hidup saya. Saya bergaul dengannya bersama kawan-kawan seniman di Taman Budaya Palembang, untuk gerakan kebudayaan dengan wadah KSKKM, Kelompok Studi Kebudayaan Kali Musi, namun demikian gawean tersebut sama sekali tidak bisa menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan secara finansial, , padahal saya adalah anak tertua dari tujuh bersaudara yang baru lulus sarjana dan tentu sangat diharapkan memperoleh pekerjaan yang “mantap” alias punya gaji-lah. Harapannya tidak lain untuk meringankan beban orangtua (ayah) yang hanya bekerja di Departemen P dan K dengan Golongan II B, yang harus membiayai adik-adikku bersekolah.

Bersamaan dengan itu, saya juga menjadi relawan (volunteer) LBH Palembang dibawah pimpinan Pak Saiman, SH, tapi itupun hanya bisa menimba pengalaman untuk bekal praktek pengacara. Maka saya mencoba merantau ke Batam, Riau dan bekerja di perusahaan pipa minyak milik Mc Dermott, namun hanya seumur jagung, meski pendapatannya lumayan. Akhirnya saya kembali ke Palembang.

Usai tamat sebenarnya, saya bercita-cita menjadi aparat kejaksaan dan diplomat, tapi setiap kali tes, tidak lulus. Akhirnya saya berketetapan hati menjadi Wartawan Sumeks di Palembang dan sampai menikah. Dua tahun di koran harian berlokasi di Jalan Merdeka 1 Palembang tersebut, lanjut ke Media Indonesia , maka selama perjalanan itu, dalam situasi demikian saya sudah tidak ada pilihan lain, no choice, selain tetap memilih dan menjadi jurnalis dengan berbagai suka dan dukanya. Pertimbangan sederhananya adalah usia saya yang semakin menua dan anak-anak sudah mulai meningkat kebutuhannya, terutama masalah pendidikan.

BACA JUGA  Cerpen Kita Minggu Ini : Keutamaan Berdoa

Usia produktif saya, setengahnya dihabiskan menjadi koresponden Media Indonesia di kota Palembang dan pernah juga membantu Metro TV pada awal-awal TV berita ini mengudara. Menyadari status wartawan yang hanya punya legalitas saja, maka saya mencari akal agar perekonomian keluarga juga bisa lancar, maka saya mencari side job, seseran-lah, kato wong Palembang, tetapi tetap saja dalam kerangka dunia kewartawanan. Antara lain, saya menulis dan menerbitkan buku pembangunan Pemda Sumsel, Buku Golkar, Pemda Lampung, Dharma Wanita, Polda Sumsel Dari Masa ke Masa, Buku Restorasi Masjid Agung Palembang, Tabloid Kadin Palembang, Majalah Pendidikan “Smart” di Jambi dan menjadi konsultan penulisan pendirian tabloid musiman, PON XVI di Palembang, termasuk juga seminar-seminar yang berkerjasama dengan BUMN seperti PTBA dan PT Pusri. Ikut juga tim penulis Biografi Gubernur Sumsel H. Rosihan Arsyad. Saya hanya berpikir yang penting semua kegiatan side job itu, bisa mendatangkan income pendapatan yang halal dengan cara-cara yang profesional. Dan alhamdulillah, semua aktivitas tersebut sama sekali tidak mengganggu pekerjaan utama sebagai Koresponden Media Indonesia.

Bicara sosok Rosihan Arsyad, ditengah panasnya situasi politik pemilihan gubernur untuk menggantikan Gubernur Sumsel Ramli Hasan Basri, yang sudah habis masa jabatan dua periodenya, saya menulis berita berjudul : “ SK Pangab Bocor”, yang jadi headline halaman Nusantara di Media Indonesia. Surat Keputusan Pangab Jenderal Wiranto itu telah menunjuk seorang jenderal TNI AD bintang dua untuk jadi Gubernur Sumsel, padahal SK Pangab tersebut bersifat sangat rahasia. Dan kabarnya , sang calon jenderal tersebut juga direstui oleh Ramli Hasan Basri. Akibatnya situasi politik pemilihan orang nomor satu di Bumi Sriwijaya ini makin panas dan membuyarkan berbagai kalkulasi politik, sebab pada masa itu bila sudah direstui Pangab, biasanya jadi dan terpilih calon tersebut. Maka kalau situasi politik nasional bernuasan awal-awal reformasi 1998, selanjutnya sosok Rosihan Arsyad yang berpangkat Laksamana TNI AL berpeluang besar, calon kuat dan betul akhirnya terpilih sebagai Gubernur Sumsel yang juga direstui Presiden BJ Habibie.

Rosihan Arsyad adalah gubernur yang sangat terbuka dengan pers. Dalam episode kepemimpinan Rosihan Arsyad, saya ingat dia permah memarahi saya ketika ada berita yang saya tulis dengan judul : “ Keluarga Gubernur Sumsel Borong Proyek”. Berita tersebut merupakan kutipan dari pernyataan, statement tokoh pemuda Sumsel Edwar Jaya, yang memang termasuk tokoh muda kritis. Sekretaris pribadi Gubernur Rosihan Arsyad, Dwi Hartono menelpon saya yang menyatakan Pak Gubernur marah besar atas berita itu.

“Mas, gimana Bapak marah ini, kenapa berita itu begitu,” ucap Mas Dwi ketika itu. Saya disuruh menghadap Pak Rosihan, tapi saya tidak lakukan.

Pada masa itu, katakanlah era-90-an, memang koran nasional yang berpengaruh menjadi bacaan utama para petinggi negeri di Jakarta, jadi kalau ada pemberitaan yang “miring”, maka biasanya pejabat yang diberitakan kena telepon oleh atasannya di pusat.

Sewaktu musim kabut asap yang merajalela, Gubernur Syahrial Oesman juga menjadi fokus pembicaraan di sidang yang dipimpin Presiden SBY, saat itu Pak Syahrial tengah memaparkan situasi kabut asap di Sumsel, tiba-tiba ada peserta rapat yang mempertanyakan berita headline halaman 1 Media Indonesia pada hari itu yang berjudul,” Kabut Asap Sumsel Sudah Menyerang Singapura”. Berita itu saya yang menulisnya. Saya sendiri sama sekali tidak menyangka berita itu jadi berita utama dan diperbincangkan hangat dalam sidang para petinggi negeri ini.

Lanata saya ditelepon Pak Syahrial. Kira-kiranya bunyinya begini,” dindo mak ini caronya, kando ini dak pacak begawe.” Begitulah cara Pak Syahrial mengingatkan dengan bahasa merakyat dan bekawan, istilah Palembang-nya. Saya un jadi terenyuh juga sehingga saya minta maaf selalu adik kakak.

Tak lama setelah koran Sumeks bubar, saya dijadikan wartawan Media Indonesia biro Sumbagsel bersama rekan Musnadi Thabrani (selanjutnya wartawan RCTI dan iNews Sumsel). Namanya juga wartawan baru, rasanya begitu tersanjung ketika Gubernur Ramli Hasan Basri memuji-mjui materi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis oleh saya kepadanya untuk sebuah wawancara khusus dan untuk diturunkan sebagai laporan khusus 1 halaman di Media Indonesia. Pak Ramli begitu gembira, antusias menerima wawancara khusus tersebut seputar Proyek-Proyek Strategis Gubernur Ramli Hasan Basri  membangun Sumsel. Itu proyek yang menjadi kebanggaan Pak Ramli. Mengingat padatnya pertanyaaan yang komprehensif tersebut, maka wawancara tersebut akhirnya dilakukan secara massal dengan mengundang rekan-rekan wartawan lainnya, mengingat Pak Ramli akan buka blak-blakan seputar proyek tersebut.

Banyak kisah selama hampir 20 tahun menjadi Indonesia dan mantan Wartawan Sriwijaya Post)) dan Mala Derita (LKBN Antara) keduanya sudah almarhum Allahumma yarham serta rekan Bangun Lubis (Suara Pembaruan) pernah membongkar mafia perdagangan komoditas Jeruk Kalimantan di Sumsel dengan menurunkan berita berjudul : “Ada Monopoli Bisnis Jeruk Kalimantan di Sumsel”. Berita ini geger karena bos dari Jakarta menelpon rekannya di kota Palembang untuk bertemu saya dan rekan-rekan. Ternyata yang menguasai pemasaran dan mematikan jeruk lokal ternama bernama dengan inisial EK, yang dulunya terkenal dengan bos judi bola gelinding di Palembang.

BACA JUGA  Cerpen Kita Minggu Ini : Kado Terbaik

Kemudian berita yang juga “mengagetkan” adalah soal bisnis pestisida di kalangan para pemilik merek pembasmi hama tanaman. Mereka ternyata juga melakukan praktek monopoli merek dengan memanfaatkan petani yang ingin mengajukan RDKK (Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok). Ketika jenis pestisida atau herbisida yang diinginkan, maka petani tersebut sudah memilih merek pestisida tertentu, yang sebelumnya sudah di”servis” para pemilik merek tersebut. Selanjutnya saya juga pernah menulis berita tender mobil di PTBA yang juga monopoli perusahaan pemilik merek tertentu. Jadi banyak kisah selama jadi wartawan daerah.

Ada sebuah kisah yang sampai saat ini, saya tidak bisa melupakannya, akan tetapi juga saya sampai sekarang ini tidak pernah tahu kenapa adanya kisah ini. Ceritanya begini, suatu hari saya ditelepon seseorang dari Jakarta. Dia mengaku disarankan redaktur saya di Media Indonesia kalau ke Palembang hubungi atau temui Aspani saja. Akhirnya, orang yang saya panggil Pak Haji ini sering bertemu di Palembang dan belakangan diketahui dia orang Palembang juga. Dan masya Allah, Pak Haji ini selalu memberi uang yang tidak sedikit kepada saya. Dan ini sudah berlangsung tiga tahun, tiap bulan Pak Haji menelpon saya untuk ketemu di Hotel Swarna Dwipa. Saya sampai sekarang apa yang melatar-belakangi beliau sehingga begitu baiknya kepada saya. Yang jelas kebaikan Pak Haji ini justru saya tengah dilanda krisis keuangan. Wallau’alam. Dalam ngobrol-ngorol juga Pak Haji ini juga tidak spesifik, bahkan dia sering tanya kondisi keluarga. Semoga Pak Haji dan keluarganya selalu dilindungi Allah Swt, aamiin. Sekarang ini saya loss contact dengannya.

Alhamdulillah, berkat menjadi wartawan puluhan tahun, banyak jaringan perkawanan yang terbina dari semua elemen dan profesi.  Yang lebih bersyukur lagi, 4 orang anak laki-laki saya sudah banyak dianugerahkan oleh Allah Swt berbagai kenikmatan. Yang sulung bernama Muhammad Rasyid Ridho yang lulus Fakultas Teknik Mesin Unsri Palembang dan sekarang sudah berkerja di PT Pertamina Diklat Sungai Gerong, Palembang dan sudah menikah dengan Della, pegawai Puskesmas Gandus serta dianugerahkan seorang anak laki-laki bernama Bilal. Anak Kedua Muhammad Rizki Rastra yang sekarang tengah menempuh S2 di negara Swedia, setelah lulus di Fakultas Sastra Inggeris Universitas Indonesia.  Anak Ketiga Muhammad Risyad Rifansyah yang lulus D4 Politeknik Sriwijaya Palembang dan berkerja di PT Semen Baturaja serta barusan menikah dengan seorang guru  bernama Ulfa. Dan Anak Bungsu Muhammad Razaq Ramadhan yang masih menempuh pendidikan D4 di Polsri Palembang. Isteri juga alhamdulillah masih berkerja di Dinas Pertanian TPH Sumsel.

Namun demikian ketika saya mengamati dan merenung, kadang-kadang berkontemplasi, ternyata dalam rentang waktu tersebut banyak kawan-kawan baik yang seangkatan kuliah maupun teman-teman sekolah, tidak sedikit yang telah memiliki karir yang membanggakan, sementara saya begini-begini saja, maka saya berkesimpulan, “my job is not my career”. Akan tetapi saya sama sekali tidak menyesal akan takdir Allah Swt ini. Dan, saya tidak akan bisa menghitung nikmat-nikmat Allah yang sudah diberikan kepada saya selama ini. Saya justru bersyukur kepada Allah Swt.

Sekarang ini saya sudah berumur 60 tahun. Alhamdulillah dari 7 Februari 1963 hingga 7 Februari 2023, masih diberikan Allah Swt hidup dalam sehat dan bahagia bersama keluarga. Kalau boleh disederhanakan, “untung ada Allah,” coba kalau tidak ada Allah, tentu kehidupan saya tidak akan seperti sekarang ini”.

Ketika tamat SD Negeri 21 Palembang dan Kelas 1 SMP Negeri 6 Palembang, ayah saya yang pegawai rendah di Departemen P dan K (sekarang Diknas Sumsel) mengalami kecelakaan sepeda motor ketika hendak pulang dari kantor. Dia korban tabrak lari. Namun kakinya remuk patah dan harus pakai pen. Bayangkan ayah saya itu harus dirawat di Rumah Sakit Umum selama tiga tahun. Tiga kali lebaran kami rayakan di rumah sakit. Sedih juga. Ibu saya, Umak panggilannya, selalu berdoa agar ayah tidak dipecat dari kantornya.  Saat itu saya surut bercita-cita, meskipun saya bintang kelas. Bahkan ayah saya menyuruh saya masuk Sekolah Pendidikan Guru agar lekas dapat kerja. Tapi seiring berjalannya waktu, Allah Swt mengubah perekonomian Ayah dan terus bekerja walaupun kaki kanannya tidak bisa ditekuk lagi dan harus diantar jemput dengan sepeda motor atau becak. Lagi-lagi, untung ada Allah.

Sebelum meninggal dunia, ayah saya berpesan kepada saya, kalau naik haji, jangan lupa bersama Umak. Ajak Umak, lagi-lagi Allah kabulkan. Setahun setelah Ayah saya meninggal (Allahyarham),  saya dan isteri bersama Umak akhirnya diberi kesempatan Allah ke tanah suci pada tahun 2011 lalu.

Sepenggal kisah ini sengaja saya tuliskan dalam momentum di usia 60 tahun. Dan saya lagi-lagi bersyukur di usia sampai sekarang ini , masih dianugerahkan sebagai jurnalis dengan mengelolah media cetak tabloid Media Islam As SAJIDIN, media online, As Sajidin.com, MAKLUMATNEWS.com, Britabrita.com, Sibernas.com dan sitalfurqon.com. Dan ini sudah berlangsung 8 tahun lebih karena diajak teman baik saya H. Bangun Lubis dan dipercaya penuh oleh pemilik media ini Bapak H. Emil Rosmali. Seorang pengusaha yang baik hati.

Dengan memanfaatkan media tersebut, kisah hidup 60 tahun ini, saya publish dengan tujuan refleksi untuk legacy dan dokumentasi yang mungkin bisa menjadi bagian sejarah anak-anak. Terakhir, kisah ini sama sekali tidak bermaksud untuk berbangga diri karena apa yang tertulis ini pada hakikatnya adalah kehendak Allah jualah.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button