OPINI

Mendorong Dewan Keselamatan Kerja Nasional Sebagai Penyelenggara Tripartit Restoratif

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — INI merupakan kesimpulan diskusi dan wawancara penulis dengan unsur pekerja : pekerja, serikat pekerja, pengawas keselamatan kerja, hakim agung, pengusaha dan penyidik kepolisian disimpulkan bahwa Dalam kasus tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja sangat penting untuk diselesaikan melalui tripartit Restoratif.

Hal ini karena peristiwa tersebut tidak hanya merugikan individu, melainkan juga komunitas pekerja. Keadilan tidak dapat dicapai hanya dengan mempidanakan pelaku.

Sebaliknya proses peradilan harus mendorong ke arah perbaikan atau setidaknya upaya untuk ” menyembuhkan luka” dan orang lain tidak terluka juga”.

Keadilan Restoratif merespon kebutuhan komunitas, pelaku dan para korban secara berimbang. Komunitas pekerja juga mempunyai hak untuk merasa aman dan terlindungi, dan mengintegrasikan pelaku ( Gordon Bazemore dalam Hamonangan Albariansyah, h. 74).

Penulis menawarkan gagasan alternatif Penyelesaian Tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja yang mengedepankan fungsi pencegahan pemidanaan melalui model tripartit restoratif (novelty pada Disertasi Hamonangan Albariansyah).

Alasan dipilihnya penyelesaian melalui keadilan restoratif sebagai landasan falsafah bagi model tripartit restoratif ini ialah karena tindak pidana kealpaan yang mengakibatkan kematian pada kecelakaan kerja bukanlah jenis tindak pidana yang relevan jika diselesaikan menggunakan falsafah pemidanaan dan jenis sanksi pidana yang sifatnya retributif dengan mekanisme yang saling hadap-berhadapan (adversarial).

Penyelesaian kasus tindak pidana kealpaan sesungguhnya membutuhkan falsafah penyelesaian berbasis pemulihan, melalui tindakan mentransformasikan kesalahan pelaku guna menghilangkan sumber bahaya yang menjadi penyebab tindak pidana, memperbaiki akibat tindak pidana dan memulihkan hubungan, sehingga di masa depan pekerja terhindar dari bahaya kematian akibat kecelakaan kerja.

Relasi kesalahan pada tindak pidana kealpaan yang mengakibatkan kematian pada kecelakaan kerja berbeda dengan kealpaan pada umumnya. Kealpaan dalam kasus ini diawali adanya pelanggaran syarat keselamatan kerja (kausa sebab) yang menimbulkan kematian (kausa akibat).

Relasi kausalitas ini bersumber dari prilaku kerja tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja tidak aman (unsafe condition yang merupakan tanggung jawab perusahaan selaku penyelenggara sistem keselamatan kerja.

Dengan demikian, tanggung jawab kealpaan dalam konteks ini tidak cukup dibebankan hanya kepada individu sebagai satu-satunya penyebab tunggal. Kealpaan pada peristiwa keelakaan kerja harus dilihat sebagai kealpaan penyelenggara sistem keselamatan kerja yang menimbulkan akibat kematian yang melawan hukum.

Dengan demikian penyelesaian tindak pidana kecelakaan kerja harus dilihat secara utuh sebagai sebuah rangkaian kausalitas.

Safety pada hukum keselamatan kerja, diartikan sebagai salah satu fungsi hukum pidana yakni pencegahan khusus (individu pelaku) maupun pencegahan umum (publik).

Safety juga diartikan sebagai tindakan untuk melindungi keselamatan pekerja banyak sekaligus mengkoreksi prilaku yang membahayakan pekerja lain atau merugikan properti orang lain di masa depan.

Menurut Feinberg, tindak pidana kecelakaan kerja merupakan salah satu bentuk kejahatan yang menimbulkan bahaya yang luas (causing harm to other/ sacrificial victims) pada saat itu terjadi dan menyisakannya di masa depan, sehingga orang lain di kemudian hari akan mengalami peristiwa serupa karena “sesuatu” yang menjadi ancaman bahaya masih terpapar di tempat itu. (Joel Feinberg dalam Hamonangan Albariansyah, h.70).

Konsep korban merujuk pada definisi Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power. Dijelaskan bahwa korban adalah orang-orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Dalam konteks ini, perlindungan korban yang tidak hanya sebatas pada pekerja individu yang secara langsung mengalami bahaya dan kerugian akibat perbuatan si pelaku, melainkan juga perlindungan terhadap pekerja banyak lainnya yang rentan menjadi korban berikutnya, apabila kausa penyebab terjadinya tindak pidananya tidak dihilangkan.

BACA JUGA  Cerpen Minggu Ini : Anak yang Dermawan

Model penyelesaian tindak pidana kealpaan yang mengakibatkan kematian pada kecelakaan kerja melalui keadilan restoratif diimplementasikan melalui alternatif model tripartit restoratif.

Model tripartit restoratif diadopsi dari istilah yang digunakan oleh Braithwaite untuk format implementasi keadilan restoratif untuk penyelesaian kasus pidana keselamatan kerja.

Menurut Braitwaite, keadilan restoratif melihat tindak pidana keselamatan kerja sebagai ancaman terhadap bahaya publik.

Menyelesaikan perkara pidana melalui keadilan restoratif berarti proses di mana semua pemangku kepentingan dalam dugaan ketidakadilan memiliki kesempatan untuk mendiskusikan konsekuensinya dan hal baik apa yang mungkin dilakukan untuk memperbaiki kesalahan.( John Braithwaite dalam Hamonangan Albariansyah, h.323)

Para pihak duduk dalam kebersamaan mendiskusikan tentang siapa yang telah terluka, apa yang dibutuhkannya, para pihak mencari cara untuk memperbaiki. Sekaligus mencegah agar orang lain tidak menjadi korban, mencegah meluasnya dampak, dan membuat segalanya menjadi lebih baik di masa depan. Hal-hal tersebut dilakukan sebagai bentuk transformasi kesalahan.

Dengan demikian, Penulis berpendapat bahwa dalam konteks ini, model Tripartit Restoratif merupakan format konkretisasi dari falsafah Keadilan Restoratif pada penyelesaian kasus tindak pidana kealpaan yang mengakibatkan kematian pada kecelakaan kerja.

Dengan mentransformasi kesalahan dalam bentuk: menghilangkan sumber bahaya penyebab tindak pidana, memperbaiki akibat tindak pidana, memperbaiki hubungan, dan menumbuhkan kepedulian semua pihak menjalankan kewajiban syarat keselamatan kerja.

Mendorong memaksimalkan fungsi dan tugas Dewan Keselamatan Kerja Nasional (DK3N) sebagai penyelenggara tripartit restoratif. Dewan Keselamatan Kerja Nasional (DK3N) ini merupakan lembaga yang mengawasi pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja nasional.

Terdiri dari 5 unsur perwakilan (aparat hukum, pemerintah, akademisi, pengusaha dan serikat pekerja), mempunyai struktur dan jaringan kerja di setiap provinsi.

Dewan Keselamatan Kerja Nasional (DK3N) ini merupakan lembaga yang khusus dibentuk mengawasi pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja nasional.  Dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 18 Tahun 2016.

Dengan menambahkan kewenangan DK3N sebagai penyelenggara Tripartit Restoratif, di sisi lain memperkuat kewenangan PPNS Pengawas Ketenagakerjaan agar dapat memeriksa dan memproses pelaksanaan Tripartit Restoratif yang diselenggarakan Dewan Keselamatan Kerja Nasional.

Pada proses tripartit restoratif, Dewan Keselamatan Kerja Nasional mengelola resiko keselamatan kerja dalam suatu kasus dengan mengidentifikasikan potensi sumber bahaya bagi pekerja, menilai berbagai kemungkinan bahaya akan terjadi, mempertimbangkan konsekuensi buruk jika hal itu terjadi, serta menentukan secara spesifik apa yang akan dilakukan untuk menghilangkan dan mengurangi resiko, termasuk di dalamnya melakukan pemantauan pelaksanaan hasil proses tripartit restoratif.

Secara struktural dan selebaran perwakilan yang sudah ada di setiap propinsi saat ini, DK3N dan DK3P ( Dewan Keselamatan Kerja Nasional di tingkat Provinsi) mempunyai kewenangan dan kedudukan yang strategis dalam pengambilan keputusan sebagai penyelenggara Tripartit Restoratif.

Dengan menambahkan kewenangan menyelenggarakan Tripartit Restoratif di satu sisi. Di sisi lain menambah kewenangan PPNS Pengawas Ketenagakerjaan agar memproses pelaksanaan Tripartit Restoratif melalui DK3N.

DK3N diberikan kemampuan untuk menilai kesalahan teknis dan kesalahan hukum pada setiap kasus tindak pidana kealpaan yang mengakibatkan kematian pada kecelakaan kerja yang ditanganinya, sehingga diperoleh informasi yang utuh dan objektif dalam menyeimbangkan keadilan antara kepentingan bisnis, kepentingan Keselamatan kerja dan penegakan hukum, sehingga setiap pihak mendapatkan keadilan hukum dan kemanfaatan hukum secara proporsional.

DK3N ini juga telah mempunyai struktur, jaringan kerja dan infrastruktur di setiap Propinsi yaitu Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional Wilayah (DK3W) dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang berada di setiap tempat kerja yang bersangkutan (P3K3).

Dewan Keselamatan Kerja Nasional telah ada sejak tahun, 1982, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan nomor 125/MEN/82, kemudian diperbaharui dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja no KEP. 155/MEN/ 84 dan terbaru diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 18 tahun 2016.

BACA JUGA  Pendidikan dan Kesehatan Gratis, Mampukah?  Oleh : Desti Ritdamaya, Praktisi Pendidikan

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 18 tahun 2016 keanggotaan DK3N terdiri dari lima unsur, yakni pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi pengusaha, organisasi profesi di bidang K3, dan / atau akademisi.

Kelima unsur tersebut bersama sama bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan mengenai berbagai persoalan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja melalui hasil pengumpulan dan pengolahan data, penelitian, kajian, pengembangan sekaligus membantu memberikan pembinaan keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional, propinsi dan tempat kerja.

Selain itu, DK3N dapat melaksanakan kerja sama dengan badan pemerintah/non pemerintah baik nasional maupun internasional melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

Dari penjelasan Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan di atas bahwa selama ini tugas pokok DK3N hanya pelaksanaan fungsi pertimbangan, pembinaan, sosialisasi dan laporan kerja berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja.

Melalui kebijakan kriminal, fungsi Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan perwakilannya masih dapat dimaksimalkan sebagai penyelenggara Tripartit Restoratif.

Pada penyelesaian melalui model Tripartit Restoratif, sanksinya dalam bentuk transformasi kesalahan melalui sejumlah tindakan pencegahan, pemulihan, perbaikan dan reharmonisasi atas akibat perbuatan pelaku.

Kesemuanya tujuan tersebut sama dengan diharapkan oleh pengawas ketenagakerjaan, pelaku korban, komunitas pekerja dan pengusaha.

Hal tersebut sesuai dengan kesimpulan penulis dengan pendapat dari bapak Sukhan Ketua Forum Badan Usaha Milik Negara Quality Health Safety and Enviroment ( BUMN QHSE) tanggal 29 Juni 2022.( Hamonangan Albariansyah, h. 76)

Dalam konteks ini, yang menjadi penyelenggara Tripartit Restoratif ialah Dewan Keselamatan Kerja Nasional (DK3N), bentuk nya mediasi penal. Cara cara penyelesaian berbasis keadilan restoratif sesungguhnya dibutuhkan untuk penyelesaian tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja.

Hal ini dikarenakan mekanisme tersebut fokus menyeimbangkan Kepentingan semua pihak baik orang yang dirugikan ( korban/ keluarga korban), orang yang menyebabkan kerugian (pelaku), dan komunitas yang terkena dampak ( pekerja lain di lokasi kerja).

Fokus inilah yang sebenarnya dibutuhkan untuk penyelesaian tindak Pidana keselamatan kerja pada umumnya, tidak penyelesaian tindak Pidana Kealpaan Yang Mengakibatkan Kematian Pada Kecelakaan Kerja pada khususnya. Mediasi penal dengan pendekatan keadilan restoratif merespon dan memahami tindak Pidana dengan sendirinya.

Beberapa institusi lain dapat dimaksimalkan fungsinya sebagai penyelenggara Tripartit Restoratif, tentunya dengan juga melakukan perubahan dan penambahan kewenangan terkait yang dibutuhkan, misalnya melalui Pengadilan Hubungan Industrial, atau mengembangkan sistem restoratif secara hybrid sebagaimana pemikiran Eva Achjani Zulfa, dengan memposisikan lembaga tertentu sebagai bagian integratif dengan lembaga lembaga kemasyarakatan lainnya dalam suatu alur proses peradilan pidana.

Terhadap hasil kesepakatan, pengadilan membuat penetapan. ,,( Eva Acjani Zulfa dalam Hamonangan Albariansyah, h. 349)

Sebagaimana yang disarankan oleh International Labour Organization, bahwa konseppenyelesaian konflik terkait ketenagakerjaan (termasuk persoalan keselamatan dan kesehatan kerja di dalam nya) menyeimbangkan antara dua kepentingan, yaitu individual disputes dan collective disputes, legal disputes dan interested disputes yang mana menyeimbangkan keduanya dimaksudkan untuk satu tujuan perdamaialn industrial (industrial peace), yakni ” the prevention and settlement of disputes”, yang mana keduanya dilakukan melalui konsiliasi-mediasi atau arbitrase. (Geneva: Internasional Labour Organization, 1980) dalam Hamonangan Albariansyah, h. 78)

 

 

Oleh :  Dr. Hamonangan Albariansyah SH MH,  Dosen Hukum Pidana FH UNSRI

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button