OPINI

Hukum Adat dan Pembaharuan Hukum

MAKLUMATNEWS.com, Palembang –HUKUM adat adalah sebuah fenomena. Kehadiran dan keberadaannya di tengah tengah masyarakat dirasakan dan diperlukan bagi masyarakat kita.

Hukum adat mempunyai makna tersendiri karena merupakan refleksi budaya kita dari Sabang sampai Merauke yang tumbuh dan hidup serta tenggelam dalam pangkuan ibu Pertiwi.

Hukum adat satu tipe hukum di dunia. Hukum adat mempunyai karakter yang khas. Karena hukum adat itu pada dasarnya bersenyawa dengan masyarakat tempat lahir dan berkembang. Sehingga dengan sendirinya hukum adat itu merupakan wujud masyarakat hukum kita.

Inheren antara hukum adat dengan masyarakat (semestinya) dapat diwadahi dalam hukum tertulis kita.

Hal demikian relevan dengan sifat dinamis dan plastis dari hukum adat ( istilah Prof. M.M. Djojodiguno SH Guru Besar Hukum Adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta).

Dengan demikian hukum adat itu tetap relevan dan berperan di masyarakat Nusantara baik sekarang maupun di masa yang akan datang.

Keberadaan hukum adat pada Fakultas Hukum pada umumnya adalah tidak menggembirakan. (Contoh di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya hanya diberi bobot 2 SKS (100 menit) dalam sepekan kuliah).

Hal ini disenyaliir bahwa studi hukum adat dalam keadaan tertinggi, jika dibandingkan dengan hukum peninggalan kolonial yang mempunyai asas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa jauh berbeda.

Kendala demikian ini mengisyaratkan betapa hukum adat akan semakin suram dan besar kemungkinannya akan terasing di kalangan masyarakat akademik pada waktu mendatang.

Padahal Ir Soekarno dalam pidato penerimaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajahmada Yogyakarta tanggal 19 September 1951 dengan judul Ilmu dan Amal Geest – Will- DAAD, mengatakan bahwa Pancasila sebagai falsafah negara Indonesia telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Saya menganggap Pancasila itu corak karakternya bangsa Indonesia.

BACA JUGA  Politik Grasak Grusuk, Menyoal Iklan Kampanye Pemilu

Hal yang sama juga dikatakan oleh Prof. Dr. R.M. Soeripto SH Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jember, dalam pidato pengukuhan nya sebagai guru besar ilmu hukum adat dan Pancasila mengatakan hukum adat adalah penjelmaan Pancasila.

Bahwa Pancasila adalah sumber kelahiran ( lwelbron) dan bahwa hukum adat sumber pengenal ( kenbron)dari Pancasila dalam hal hukum karena bangsa/ masyarakat yang berkepribadian Pancasila.

Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan Seminar Hukum Nasional 1963 merumuskan bahwa

Berdasarkan Hukum Adat adalah sama dengan berdasarkan Pancasila.

Sejak adanya ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966, yaitu sejak 5 Juli 1966. Bangsa Indonesia tidak mempunyai pilihan hukum ( rechtskeuze) lagi.

Hukum Nasional Republik Indonesia harus berdasarkan atau bersumber pada Pancasila dan atau HUKUM ADAT.

Sehingga dengan sendirinya berdasarkan ajaran ( doktrin) Bung Karno Presiden Republik Indonesia dan Guru Besar Prof. Soeripto tersebut serta diperkuat dengan rumusan Seminar Hukum baik yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional dan Seminar Hukum Nasional tahun 1963 dan Ketetapan MPRS No XX/MPRS/ 1966 sebagai dasar hukumnya wajib kita hormati bahwa Hukum Adat itu juga dalam bidang hukum adalah Pancasila.

Dengan demikian jikalau kita anak bangsa ini mengenyampingkan hukum adat terutama di kalangan perguruan tinggi ilmu hukum, bukan tidak mungkin nanti suatu saat hukum hukum yang berlaku lama lama akan bertentangan dengan nilai nilai adat dan otomatis bertentangan dengan Pancasila.

Alhamdulillah hal hal demikian pelan pelan akan kembali lagi kiblat pembaharuan ilmu hukum ( hukum) ke arah hukum adat atau disebut juga ” hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Hal ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Baru yang disahkan pada tanggal 2 Januari 2023 dengan Undang Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Pidana ( KUHP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1.

BACA JUGA  Hukum Adat dalam Sila Ketiga Pancasila

Misal pada Pasal 597 Bab XXXIV Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat.

(1). Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang terlarang, diancam dengan Pidana.

(2). Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat 1 huruf f.

Pasal 66 ayat 1 huruf f: pemenuhan kewajiban adat setempat.

Kalau kita mau melakukan pembaharuan ( modernisasi) hukum di Indonesia, jangan lupa pesan dari tokoh Taman Siswa sekaligus mantan menteri pendidikan Nasional Republik Indonesia serta mantan dewan kurator Senat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Bung Karno ( 19 September 1951) mengatakan bahwa dalam pembaharuan kebudayaan ( dalam hal ini hukum- hukum sebagai bagian kebudayaan- yang merupakan hasil Budi dan Daya Manusia Indonesia menghadapi tantangan alam dan zaman ; lihat buku Ki Hadjar Dewantara Berjudul Kebudayaan), mengatakan bahwa kita jangan lupa dengan tiga Kon ( tri con) yaitu konsentrisitas, kontinuitas dan konvergensi.

Kon pertama ( konsentrisitas) maksudnya dalam pembaharuan hukum jangan terlepas dari sentral ( dasar philosofi) yaitu Pancasila.

Kon Kedua.( Kontinuitas) pembaharuan hukum harus berkesinambungan dengan sejarah hukum yang pernah ada dan sifatnya berkelanjutan.

Kon Ketiga ( konvergensi), dalam pembaharuan hukum, kita tidak boleh menutup diri untuk menerima unsur unsur asing yang sesuai dengan Pancasila.

 

Oleh : Albar Sentosa Subari, Dosen Purna Bakti FH Unsri dan Ketua Pembina Adat Sumsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button