Harmonisasi Hukum: Persoalan Terbesar Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat

MAKLUMATNEWS.com, Palembang –Banyak cara yang dapat dipilih dalam mengulas perlindungan, penghormatan, penegakan serta pemenuhan hak asasi manusia.
Wacana dapat dilakukan pada tataran perseorangan atau pada tataran kolektif, tentang kasus kasus khusus atau tentang posisi nya dalam sistem dan struktur kenegaraan, tinjauan hukum positif atau dalam posisi kesejarahannya, dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya dan atau hak sipil dan politik, pada tingkat lokal maupun pada tingkat regional dan nasional, ataupun internasional.
Sesuai dengan sejarah munculnya hukum internasional hak asasi manusia sejak tahun 1948, kecenderungan umum yang terlihat adalah prakarsa perlindungan, penghormatan, penegakan serta pemenuhan hak asasi manusia hampir selalu bermula pada tingkat internasional untuk kemudian ditindaklanjuti pada tingkat nasional ( ratifikasi).
Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa studi tentang perspektif hak asasi manusia terhadap hak masyarakat hukum adat termasuk salah satu bidang yang lumayan tertinggal di bandingkan dengan bidang bidang lainnya.
Pada suatu sisi hal itu disebabkan oleh karena masyarakat hukum adat termasuk dalam kelompok marginal yang secara sendiri sendiri tidak mempunyai ” bargaining position berhadapan dengan kekuatan kekuatan yang lebih besar, baik terhadap negara maupun terhadap perusahaan perusahaan besar, yang berkepentingan terhadap sumber daya alam yang ada pada” Communal Lands yang secara historis mereka miliki.
Pada sisi lain hal itu disebabkan oleh karena perhatian para pemersatu kebijakan — termasuk para redaktur media massa yang akan menentukan berita mana yang akan disajikan kepada publik – lebih tertarik pada masalah masalah besar dari pada masalah masalah masyarakat hukum adat yang dari kaca mata mereka lebih banyak merupakan masalah masalah kelas ” teri”.
Pola penanganan hak masyarakat hukum adat di Indonesia juga berlangsung dalam format tersebut di atas.
Walaupun secara historis terdapat niat para pendiri bangsa menghormati masyarakat hukum adat serta hak hak tradisional nya, seperti tercantum dalam penjelasan Pasal 18 UUD 45 namun rangkaian peraturan perundang-undangan nasional secara sistematik, struktural dan berkelanjutan menegaskan niat itu dan sengaja atau tidak sengaja telah memarginalkan masyarakat hukum adat tersebut selama 53 tahun ( 1945-1998; : lihat Saafroedin Bahar).
Penegasian serta pemarginalan masyarakat hukum adat tersebut mempunyai akibat yang amat merugikan, bukan hanya secara langsung bagi masyarakat hukum adat tetapi juga secara tidak langsung bagi keseluruhan negara itu sendiri.
Perubahan secara efektif baru dapat dilakukan kurun pasca Reformasi, pada tahun 1998 dan masih dibutuhkan waktu selama satu windu sampai 2006 setelah posisi awal untuk melakukan pembenahan yang lebih mendasar dapat dimulai secara formal.
Demikian, di tingkat nasional, seluruh upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk meningkatkan perlindungan dan untuk memajukan hak masyarakat hukum adat sejak tahun 2004 dapat berjalan dengan mulus.
Setelah mengadakan rangkaian Focused Group Discussion, lokakarya dan seminar tentang perlindungan dan pemajuan hak masyarakat hukum adat sejak bulan Juni 2004, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, dalam acara peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Se Dunia tanggal 9 Agustus 2006 di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta, suatu era baru bagi masyarakat hukum adat telah dimasuki.
Pada hari itu setidak tidaknya secara formal, era diskriminasi dan represi terhadap masyarakat hukum adat Indonesia telah diakhiri.
Pada momen yang bersejarah itu pembentukan sebuah Sekretariat Nasional Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat telah dideklarasikan, yang disusul oleh dukungan spontan Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk disusunnya sebuah rancangan UU perlindungan hak masyarakat hukum adat.
Dengan cepat, setelah itu Departemen Sosial mengambil langkah langkah awal untuk meratifikasi Konvensi ILO no 169 tahun 1989 tentang The Indigenous Peoples and Tribal Peoples in Independen Countries.
Albar Sentosa Subari, Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan