Menapakkan Kaki ke Marga

MAKLUMATNEWS.com, Palembang –SUATU sore saya ditanya seorang jurnalis, apakah mungkin kita kembali ke sistem marga?
Tentu dengan pertanyaan tersebut, saya balik tanya kepada nya, apa yang anda maksudkan dengan “sistem marga”?
Karena menurut historis yang berkembang sistem marga itu minimal memiliki dua makna. Dan akhirnya kembali ke satu makna asal.
Untuk itu sebelum menjawab pertanyaan jurnalis tersebut akan kita ceritakan sedikit mengenai masing-masing makna yang kita maksudkan.
Pertama, makna sistem marga yang bermula dari pokok bahasan tentang sejarah kehidupan satu komunitas tertentu dan seiring waktu Mading Mading komunitas tersebut melakukan interaksi sosial, maka terjadilah yang maknanya sistem marga pertama kali.
Yaitu Komunitas yg memiliki ikatan geneologis, sehingga satu sama lain terikat dengan sistem budaya adat istiadat yang sama yaitu adat prilaku warisan dari orang orang terdahulu ( phuyang) masing masing yang satu sama lain mungkin sama mungkin juga ada perbedaan, karena mereka berasal dari keturunan dan wilayah yang berbeda-beda.
Itulah yang di daerah kumoring disebut dengan Tiuh. Tiuh dipimpin oleh seseorang yang dituakan ( dalam bahasa ilmiah hukum modern adalah sebagai pimpinan informal, tokoh masyarakat atau biasa’ disebut orang yang dituakan).
Di mana tiap tiap suku atau etnis menyebutkan berbeda beda. Pada makna pertama ini sistem marga masing bersifat geneologis.
Kedua, makna sistem marga selanjutnya adalah perkembangan dari sistem marga pertama dari sifat geneologis menuju geneologis – territorial.
Perkembangan ini baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal disebabkan oleh perkembangan masyarakat dari sistem Tiuh ( dusun) menuju kepada serikat dusun.
Sedangkan faktor eksternal karena ada dampak pengaruh datang dari masyarakat luar ( biasa disebut masyarakat Ilir), ataupun juga terutama dari pengaruh pemerintahan kolonial yang mendatangi wilayah Indonesia khususnya di Sumatera Selatan.
Yang kesemuanya dengan motivasi mencari bahan bahan seperti hasil hutan, perkebunan yang bisa diekspor ke luar negeri, dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di pedalaman tadi ( masyarakat ulu).
Kembali ke pertanyaan jurnalis tadi , jawabnya adalah kalau yang dimaksud dengan sistem marga dalam arti yang asli ( geneologis dan teritorial sebelum mendapatkan intervensi dari luar), saya selaku akademisi maupun praktisi di dunia budaya khususnya hukum adat maka jawaban nya adalah BISA.
Sebab di dalam peraturan perundang undangan baik zaman orde baru maupun setelah amendemen UUD 45, hal tersebut tetap diakui keberadaannya.
– Pasal 18 B ayat 2. Negara mengakui kesatuan masyarakat beserta hak hak tradisional nya sepanjang masih hidup sesuai dengan perkembangan zaman dan diatur dalam undang-undang dan berasaskan negara kesatuan Republik Indonesia.
– Pasal 5 butir c Undang Undang nomor 9 tahun 2023, tentang Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, mengakui marga sebagai satu kesatuan adat yang merupakan karakteristik masyarakat hukum adat.
Dari semua nya tidak ada yang menyebutkan sistem marga dalam makna kedua ( sistem pemerintahan).
Kolumnis Albar Sentosa Subari, Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan