OPINI

Kedudukan Urf dalam Hukum Islam

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — SEBAGIAN besar ulama menyetujui Urf atau adat kebiasaan dijadikan dasar penetapan hukum dan sebagian lainnya tidak.

Beberapa pendapat ulama.

 

1. Imam Abu Hanifah

Beliau melakukan qiyas, tetapi bila tidak bisa dilakukan qiyas, beliau lakukan istihsan, selama dapat dilakukan dan apabila tidak beliau kembali pada Urf masyarakat.

Banyak di dalam fiqih Hanafiah, hukum hukum yang didasarkan kepada Urf, umpamanya :

a. Apabila para pihak berselisih dan tidak ada yang dapat menunjukkan bukti, maka yang harus dimenangkan ialah yang dibenarkan oleh Urf.

b. Apabila ada perselisihan suami istri apakah didahulukan atau diakhirkan mahar, maka ditetapkan berdasarkan Urf. (Lihat Abdul Wahab Al Khallaf).

Bila melakukan dengan sadar dan menjaga jangan sampai mempunyai anggapan bahwa kebiasaan itu adalah rangkaian ibadah mahdlah, maka kebiasaan itu tetap kebiasaan yang dibolehkan dalam hukum Islam bukan ibadah.

Dari uraian di atas tentang Urf atau adat kebiasaan dapat disimpulkan bahwa

Pertama, Urf atau adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat adakalanya bertentangan dengan syariat Islam, dan ada kalanya tidak.

Kedua, Urf atau adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Nash qath’i dan khusus dapat dijadikan sandaran dalam penetapan hukum.

Ketiga, Urf atau adat kebiasaan yang dapat dijadikan sandaran dalam penetapan hukum ialah Urf atau adat kebiasaan yang dominan dalam masyarakat dan masih berlaku pada masa penetapan hukum itu, serta tidak meniadakan berlaku nya seluruh ketentuan hukum dan syariat.

Keempat, yang dilakukan berdasarkan perintah agama tetapi bukan termasuk rangkaian ibadah mahdlah.

 

2. Imam Malik dan ulama Malikiyah

Imam Malik dalam istidlalnya sesudah berdalil pada Al Quran dan as Sunnah, berpedoman pada ijma, qiyas, istihsan, istishhab, mashalahah Mursalah, dzarai dan Urf.

BACA JUGA  Bermain Lato-lato Dibolehkan Selama tidak Melahirkan Mudharat

Ulama Malikiyah terhadap Urf atau adat kebiasaan ini membagi tiga bagian.

Pertama, Urf yang dapat ditetapkan sebagai hukum karena ditunjuki oleh nash.

Kedua, Urf yang jika mengamalkan nya berarti mengamalkan yang dilarang syara’ atau mengabaikan syara’.

Urf demikian tak dapat diterima karena tak ada harganya dalam hukum Islam.

Ketiga, yang tidak dilarang dan tidak pula disuruh mengamalkan nya. Urf ini dapat diterima karena tidak dilarang.

 

3. Imam Asy Syafei

Imam Asy Syafei tidak menggunakan dalil Urf, karena menurut beliau, dalil hukum adalah Al Quran, as Sunnah, ijma dan ijtihad yang hanya dibatasi dengan qiyas saja.

Kalau dalam menetapkan hukum, tidak mendapati Ijma dan qiyas, maka beliau mengambil jalan istidlal berdasarkan Qa indah agama yang tidak sekali kali menggunakan pendapat atau buah pikiran manusia. (Lihat H. Munawir Cholil).

Dalam istidlalnya tidak menyinggung soal Urf. Tetapi kalau kita pelajari sejarah pembinaan hukumnya, kita dapati bahwa pada waktu beliau tinggal di Mesir, beliau merobah penetapan beliau terhadap beberapa hukum yang disebut Qaulul Jadid, sebagai imbangan terhadap penetapan hukumnya di Bahdad yang disebut Qaul Qadiem. (Lihat Abdul Wahab Khalaf).

Perobahan ini banyak dipengaruhi oleh adat kebiasaan di Mesir berbeda dengan adat di Bahdad.

Kalau kita pelajari lebih lanjut, kitab Syafi’iyah, akan kita temui bahwa Urf pun dipertimbangkan dalam penetapan hukum.

Mereka menghargai Urf kalau tidak ada nash.

Ibnu Hajar termasuk ulama Syafi’iyah, menetapkan bahwa Urf dapat diamalkan apabila tidak berlawanan dengan sesuatu nash.

Ingat teori Resepsi a contrario dari Prof. Dr. H. Hazairin SH dan muridnya Sayuti Thalib, SH, kedua sebagai dosen hukum adat dan hukum Islam di Universitas Indonesia.

BACA JUGA  Pengaruh Adat dalam Sikap Perilaku Masyarakat

Di waktu Al Qurtubi dan Al Karakhi mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah tidak menggunakan Urf, maka Ibnu Hajar mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah tidak menerima Urf bila bertentangan dengan nash atau yang tidak diberi petunjuk oleh nash.

As Suyuthi, termasuk ulama Syafi’iyah, dalam qaidah fiqihnya mencantumkan qaidah bahwa adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum. (*/Ril)

 

 

Kiriman : Albar Sentosa Subari

Pengamat hukum dan Ketua Pembina Adat Sumsel

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button