OPINI

Pola Penyelesaian Pelanggaran Adat

MAKLUMATNEWS.com, Palembang –Prof. Dr. R. Soepomo, SH, ahli hukum adat Indonesia dalam bukunya berjudul Bab Bab Tentang Hukum Adat menggunakan istilah ” Delik Adat”.

Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH dalam rangka menyongsong Undang Undang Nomor 5 tahun 1979, dalam bukunya Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian Desa menggunakan istilah Penyimpangan Adat.

Sedangkan Dewan Pembina Adat Sumatera Selatan dalam beberapa buku yang diterbitkan ( kompilasi adat istiadat di Sumatera Selatan dan Lukisan Adat istiadat di Sumatera Selatan menggunakan istilah Pelanggaran Adat, sebagai mana tercantum dalam judul artikel kita ini.

Delik adat ( pelanggaran adat) adalah suatu peristiwa dimana seseorang atau sekelompok orang melakukan perbuatan melawan hukum ( baca adat), terhadap orang atau sekelompok orang yang mengakibatkan kerugian baik materil maupun spirituil.

Delik adat ( pelanggaran adat ) diselesaikan secara Perdamaian adat guna mengembalikan keseimbangan akibat timbulnya kerugian tersebut.

Tentu pertanyaan yang timbul siapa yang berkompeten menyelesaikan sengketa atau pelanggaran adat itu.

Secara hukum positif tertulis tentu jawabnya peradilan negara.

Apakah di masyarakat lokal yang hidup berkembang selama ini tidak ada orang atau lembaga adat yang berkompeten untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Menurut teori ilmu hukum adat yang dikembangkan oleh Ter Haar, ( guru besar ilmu hukum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jakarta/ Batavia) bahwa bila terjadi perselisihan antara warga masyarakat hukum adat maka yang berhak mendamaikan adalah ” Masyarakat Adat” melalui tokoh tokoh adat ( tua tua adat/ pimpinan informal).

Pendapat beliau di atas diucapkannya tahun 1930 dan 1937.

Siapa tokoh dimaksud?

Di Sumatera Selatan dikenal figur Pasirah. ( Pasirah menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam kata sambutannya pada saat peluncuran buku biografi Prof. Mr. Makmoen Soelaiman, sudah dikenal sejak abad ke VI).

BACA JUGA  Pribadi Nabi SAW dari Aspek Privasi dan  Humanisme Sosial 

Di setiap daerah memiliki nama dan struktur yang berbeda namun subtansi nya sama satu sama lain yaitu menjunjung tinggi budaya MUSYAWARAH.

Di kepulauan Indonesia hampir ada semua kecuali di Jawa dan Madura yang disebut Pengadilan Desa ( Ade Saptomo, 2010; 106).

Pengadilan Desa ( istilah Ade Saptomo, Hakim Desa istilah Hazairin). Di tanah Gayo, hakim desa dipegang oleh raja raja.

Di Batak ada ditangan kepala pusat kota atau pedusunan. Di Tapanuli Selatan, kekuasaan itu diberikan kepada kepala kuria.

Di Minangkabau, di sana ada Lembaga Kerapatan adat nagari. Di Sumatera Selatan dipegang oleh kepala suku dengan bantuan pinitua. Di kepulauan Ambon dan Banda dipegang kepala negeri.

Secara subtansial kultural Indonesia mengandung Thema budaya dalam penyelesaian pelanggaran adat berdasarkan potensi lokal.

Antara lain bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek musyawarah dalam bahasa Minang.

Pada masyarakat Jawa umumnya ada tradisi membuat keputusan dilakukan di dalam rapat desa. Yang anggotanya terdiri dari perwakilan setiap dukuh.

Mereka berembuk untuk menyelesaikan perkara perkara.Namun bukan memutuskannya dengan suara mayoritas, melainkan dengan musyawarah ( Koentjaraningrat, 1990 dalam Ade Saptomo).

Semua itu dilakukan untuk mencapai keadilan. Penyelesaian sengketa/pelanggaran berdasarkan potensi lokal di atas menunjukkan bahwa jika terjadi persoalan diantara anggota masyarakat mereka cenderung menyerah kepada pihak adat untuk menyelesaikan berdasarkan hukum adat secara kekeluargaan.

Ini sekaligus menunjukkan bahwa Penyelesaian sengketa berdasarkan potensi lokal di luar pengadilan formal telah ada dan hingga kini masih hidup dalam masyarakat Indonesia.

Di sini mungkin adanya benang merah jika dihubungkan dengan berlaku nanti Undang Undang Nomor 1 tahun 2023, tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana bada bab XXXIII, yang mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat.

BACA JUGA  Makna dan Peristiwa yang Terjadi di Hari Asyura 

Ataupun juga dengan pasal 5 butir c dari Undang Undang Nomor 9 tahun 23 tentang Provinsi Sumatera Selatan, yang mengakui adat budaya marga.

Tentu di dalam adalah lembaga Penyelesaian Pelanggaran Adat lokal ( baca marga sebagai susunan asli). (*)

 

* Oleh : Albar Sentosa Subari, Ketua Pembina Adat Sumsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button