LIFESTYLE

Puisi ‘Pelajaran Menggambar’ Karya Nizar Qabbani

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — Nizar Tawfiq Qabbani adalah seorang diplomat, penyair dan penerbit Suriah.

Qabbani lahir di Damaskus, 21 Maret 1923. Ia pernah bekerja di Departemen Luar Negeri Suriah dan bertugas di Mesir dan Inggris.

Namun, pada tahun 1944 ia tinggalkan pekerjaannya untuk mencurahkan perhatian pada satu-satunya hal yang ia cintai: puisi.

Karya-karya Qabbani terdiri dari lusinan antologi puisi yang sangat populer di dunia Arab.

Banyak puisinya yang dijadikan lirik lagu para penyanyi Arab kontemporer.

Karena sikap politiknya, ia pernah dimusuhi oleh para pemimpin negara-negara Arab hingga terpaksa mengasingkan diri ke London, Inggris.

Ia meninggal pada tahun 1998 di London.

 

Pelajaran Menggambar

Anakku meletakkan kotak gambarnya di depanku

lalu memintaku menggambar seekor burung.

Kucelupkan kuasku pada cat abu itu

kugambar sebuah kotak dengan kunci dan palang pintu.

Matanya terbelalak heran:

“… Ayah, bukankah ini penjara,

tahukah kau bagaimana menggambar burung?”

 

Kukatakan padanya: “Nak, maafkan aku.

Aku sudah lupa pada bentuk burung-burung.”

Anakku meletakkan buku gambarnya di depanku

lalu memintaku menggambar tangkai gandum.

 

Kugenggam pena

lantas kugambar tangkai senapan.

Anakku menertawakan kebodohanku,

bertanya

“Ayah, tak tahukah engkau, perbedaan

tangkai gandum dan senapan?”

 

 

Kukatakan padanya, “Nak,

aku pernah mengetahui bentuk tangkai gandum

sekerat roti

dan kembang mawar.

 

Tapi di saat segenting ini

pohon-pohon hutan telah bergabung

dengan pasukan tentara

mawar-mawar mengenakan seragam yang kusam.

 

Kini saatnya tangkai gandum bersenjata

burung-burung bersenjata

budaya bersenjata

bahkan agama pun bersenjata.

 

Kau tak bisa membeli roti

tanpa menemukan peluru di dalamnya

kau tak bisa memetik mawar

tanpa duri memercik di wajahmu

kau tak bisa membeli sebuah buku

yang tak meledak di sela jemarimu.”

 

Anakku duduk di tepi tempat tidur

lalu memintaku membacakan sebuah puisi.

Sebutir airmata jatuh di atas bantal.

Anakku merabanya, heran, berkata:

“Ayah, ini airmata, bukan puisi!”

Lalu kukatakan padanya:

“Nak, saat engkau tumbuh dewasa,

dan membaca diwan-diwan puisi Arab

kau akan temukan bahwa puisi dan air mata tiada bedanya.

Dan puisi-puisi Arab

tak ubahnya kucuran airmata dari jemari yang menulis.”

 

Anakku meletakkan pena dan kotak krayon miliknya

di depanku

lalu memintaku menggambar sebuah tanah air untuknya.

Kuas di tanganku seketika gemetar

aku tenggelam, dan menangis.

 

 

Sumber : Klikhijau com

BACA JUGA  Jangan Anggap Sepele, Ini Cara Gunakan Mouse dengan Benar Agar Tangan Tidak Sakit

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button