Melestarikan (Mengembangkan) Kearifan Lokal Tugas Bersama

MAKLUMATNEWS.com, Palembang — PEMERINTAH Provinsi Sumatera Selatan bekerja sama dengan Dewan Penasehat dan Pembinaan Adat Istiadat Sumatera Selatan di tahun 2001 telah menerbitkan sejumlah buku tentang adat istiadat di Sumatera Selatan antara lain berjudul :
1, Kompilasi Adat Istiadat di seluruh kabupaten kota ( sebelum pemekaran wilayah)
2, Lukisan adat istiadat Sumatera Selatan ( diterbitkan dengan dua bahasa Indonesia -Inggeris)
3, Marga ( kajian historis dan prospeknya).
Adat istiadat ( kearifan lokal) adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi dasar perilaku sosial mereka sehari-hari.
Adat istiadat ( kearifan lokal) dapat dibagi menjadi dua jenis yang merupakan jaringan yang erat, tanpa pemisahan tegas antara keduanya, yaitu adat istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum atau reaksi adat, mencakup upacara adat dan sopan santun dan kedua adalah adat istiadat yang mempunyai akibat hukum atau reaksi adat yang selanjutnya disebut hukum adat.
Seberapa jauh makna HUKUM ADAT dimaksud yang dikategorikan mempunyai sanksi?
Untuk itu kita kembalikan kepada teori keputusan ( beslissingen leer) dari teori Ter Haar.
Di mana beliau mengemukakan teori tersebut melalui dua gurun waktu yang berbeda.
Yaitu di tahun 1930 dia katakan hukum adat ( baca sanksi) adalah suatu putusan yang diambil oleh petugas hukum ( petugas adat: tokoh adat.
Misalnya Pesirah di Sumatera Selatan saat masih berlaku sistem pemerintahan MARGA – di tahun 1937 dia Ter Haar merubah teorinya bahwa hukum atau sanksi itu diputuskan oleh masyarakat sebagai anggota suatu komunitas.
***
KEMBALI ke fokus artikel kita ini masalah pelestarian ( pengembangan) , hari ini di harian daerah yang terbit tanggal 10 Agustus 24 sehari setelah memperingati hari internasional masyarakat hukum adat se dunia ( 9 Agustus 24), tertulis berita yang sangat menyejukkan dimana sebuah lembaga perbankan yang cukup berperan di daerah yaitu Bank Sumsel Babel akan menggunakan “Kain motif Jemputan setiap hari Kamis.” Sebagai bentuk komitmen dalam melestarikan kearifan lokal.
Sebagaimana disampaikan oleh Divisi Sekretaris Perusahaan, Ahmad Azhari, inisiatif ini diharapkan dapat mengangkat nilai budaya lokal sekaligus menumbuhkan rasa bangga terhadap warisan daerah.
Jemputan dan kain cual adalah warisan budaya khas Sumatera Selatan dan Bangka Belitung yang memiliki nilai seni yang tinggi dan nilai philosofi yang unik untuk dihayati.
Dengan mengenakan pakaian yang menggunakan motif motif ini menunjukkan dukungan dalam preservasi budaya lokal serta mendorong kesadaran akan pentingnya melestarikan warisan leluhur.
Tentu baik secara langsung ataupun tidak langsung akan berdampak positif bagi perekonomian daerah sehingga mereka berinovasi mencari kreasi kreasi baru sehingga dapat bersaing dengan produk produk lain sebagainya dari dalam maupun luar negeri.
Selaku ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan menyambut dengan baik idee idee ini, mudah mudahan akan diikuti oleh instansi pemerintah dan ataupun swasta.
Kita sesama bangsa Melayu yang tersebar di Nusantara, khususnya kita di wilayah Sumatera Selatan merasa rendah terhadap kemajuan kemajuan yang telah dihasilkan oleh daerah daerah lainnya.
Sebut saja misalnya provinsi yang paling dekat Jambi, Pekan Baru, Sumbar dan Kepri, mereka lebih antusias mengembangkan/melestarikan budaya Melayu.
Tanggal 4-6 Agustus 24 kemarin saya baru saja selesai mengikuti Silaturahmi Kerja Lembaga Adat Melayu Serumpun ( LARM) di kota berbudaya Kota Tanjung Pinang kepulauan Riau.
Di sana adat istiadat dan budaya masih kental diikuti mulai dari etika sopan santun sampai bangunan fisik berupa Balai Adat yang berdiri megah bercat kuning emas yang terletak di pinggir pantai pulau Bintan.
Hal ini seolah oleh masyarakat Melayu beradat menyambut kedatangan tamu yang mendarat di pelabuhan penyeberangan dari pulau Batam.
Belum lagi yang lain mereka sudah cukup kental melestarikan budaya adat istiadat Melayu di sana.
Padahal dari sisi historis atau apapun namanya Palembang merupakan induk Melayu. Namun selama ini kita hanya ada pada ucapan ucapan saja di saat saat ada momen kemelayuan.
Dan ini sudah harus diubah dengan cara bersama sama memajukan kebudayaan Melayu khususnya dan kebudayaan Nusantara umumnya.
Sudah waktunya penanganan kebudayaan di Sumatera Selatan khususnya di tingkat provinsi harus terpisah dengan pariwisata, sehingga perimbangan apapun akan terjadi kendala.
***
SEINGAT saya provinsi Sumatera Selatan sudah memiliki peraturan daerah mengenai Pelestarian Nilai Nilai Budaya, terutama mengenai ornamen khas bangunan dan motif yang mengandung unsur kearifan lokal.
Karena budaya adalah bersifat bhinneka tunggal Ika termasuk di wilayah provinsi Sumatera Selatan yang terdiri dari tujuh belas kabupaten kota tentu mempunyai bentuk dan ragam sendiri, sehingga salah kalau disamakan bentuk dan motif nya.
Ambil contoh; tutup kepala atau bahasa lainnya TANJAK itu beragama bentuk nya belum lagi kalau dikaji nilai nilai philosofi mengenai bentuk, warna dan si pemakainya tentu berbeda beda satu sama lain.
Ini bukan diskriminatif tapi Simbul Norm sosial dalam masyarakat, guna nya untuk mempertahankan eksistensi dan fungsi masing masing anggota masyarakat setempat.
Seperti bentuk Tanjak yang dibangun di atas gapura dan lain lain tempat itu harus mencirikan simbol kedaerahan sesuai kearifan lokal masing masing. Jadi tidak harus sama persis.
Oleh : Albar Sentosa Subari, Ketua Lembaga Adat Melayu Sumatera Selatan