OPINI

Moderasi Beragama Patokan Terciptanya Sebuah Toleransi dan Kerukunan Antar Sesama

Oleh: Dr. Muhammad Walidin, M.Hum.(Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Raden Fatah Palembang)

 

MAKLUMATNEWS.com, Palembang –MENGAKHIRI tahun 2022, Kementerian Agama Republik Indonesia secara serentak melakukan survei Indeks Profesionalisme dan Moderasi Beragama (IPMB) bagi seluruh ASN Kemenag se-Indonesia yang berjumlah 214.306 orang.

Survei yang diakui sebagai pertama di jajaran kementerian di Indonesia ini dilakukan di 1.160 lokasi di seluruh Indonesia dengan metode Computer Assisted Test (CAT).

Sejak hari itu, kata moderasi menjadi pembicaraan hangat dan booming. Padahal, kata moderasi sebenarnya telah sering pula terdengar dalam istilah lain, seperti Islam Wasatiyah, yang dipopulerkan oleh Yusuf al-Qardhawi (w.2022) dalam bukunya Fiqh Al-Wasathiyah Wa at-tajdid (2009). Dengan karya dan konsistensi ijtihad akademiknya terhadap moderasi, Yusuf al-Qardhawi sebenarnya layak disebut sebagai Bapak Moderasi Beragama.

Jauh sebelum itu, ulama-ulama klasik, seperti Imam Ibnu Jarir At-Thabari (W: 310H/923M), Imam Abu Hamid Al-Ghazali (W: 505H/1111M), Imam Al-Qurthubiy (W: 671H/1273M, Imam Ibnu Taimiyah (W: 728H/1328M, Imam As-Syathibiy (W: 790H/1388M) juga telah memperkenalkan moderasi (Ummatan Wasathan) dalam berbagai magnum opusnya.

Penelusuran Khairan Muhammad Arif (2020) dalam tulisannya Moderasi Islam Perspektif al-Qur’an, as-Sunnah, serta Pandangan Para Ulama dan Fuqaha sampai pada kesimpulan bahwa syariat Islam mengamanahkan agar ummat Islam ini menjadi ummat yang wasathan, umat yang berkeadilan dan paling baik.

Wasathiyah adalah ajaran Islam yang mengarahkan umatnya agar adil, seimbang, bermaslahat dan proporsional, atau sering disebut dengan kata “moderat” dalam semua dimensi kehidupan.

Pemahaman secara massif tentang moderasi beragama saat ini memang sangat diperlukan dalam konteks membangun kehidupan bernegara yang harmonis dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

Kita, membutuhkan perspektif moderasi dalam beragama karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan.

Apalagi khususnya bagi ummat Islam yang memiliki modal doktrin tentang ummatan wasatan atau masyarakat yang moderat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah :143.

Dalam buku terbitan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan judul Moderasi Beragama (2019), kata moderasi disebutkan berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti ke-sedang-an (tidak berlebihan dan tidak kekurangan).

Kata ini selaras dengan kata bahasa Arab; wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).

Bahkan kata Wasath ini telah absorbsi oleh bahasa Indonesia menjadi Wasit; penengah, penentu, pelerai pada sebuah pertandingan. Seorang wasit haruslah bersikap adil, berimbang, dan tidak memihak secara subjektif.

Dengan demikian, moderasi beragama berarti cara beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi. Dengan moderasi beragama, seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran agamanya.

Terma lain yang perlu disebutkan juga adalah toleransi beragama. Apakah berbeda dengan moderasi beragama?

Moderasi Beragama adalah proses dan toleransi adalah hasil. Toleransi dalam Moderasi Beragama merupakan cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang dapat mengancam kehidupan beragama.

BACA JUGA  Mengenal Hukum Adat Ambon - Lease

Moderasi Beragama memiliki peran penting dalam membangun persatuan bangsa, karena Moderasi Beragama merupakan patokan terciptanya sebuah toleransi dan kerukunan antar sesama (Fakhrudin, 2019).

Dalam rangka pengarusutamaan moderasi beragama, kita bisa berkaca pada lintasan sejarah Islam klasik.

Ada sebuah monumen yang penting sebagai bukti mainstreaming paradigma moderasi beragama di masa awal-awal Islam saat bersentuhan dengan peradaban lain. Paradigma ini menghasilkan toleransi beragama yang indah yang tercatat dalam peradaban Islam.

Adapun monumen yang dimaksud adalah adanya masjid Umayyah di Damaskus (Syam). Masjid ini pernah menjadi bukti moderasi-toleransi Kristen-Islam.

Dalam satu bangunan gereja, kedua ummat ini melakukan ritual masing-masing. Ummat Kristen beribadah pada sisi barat, sementara Ummat Islam beribadah pada sisi timurnya.

Sungguh Indah!

Sebagaimana kita ketahui, Syam/Damaskus menjadi markas besar tentara romawi di wilayah Timur di mana saat itu Suriah di bawah kekuasaan Diocletian.

Saat tentara Islam masuk ke Damaskus di bawah pimpinan Khalid bin Walid (592-642 M), agama Kristen sudah mendominasi wilayah ini.

Dapat dikatakan bahwa penaklukan wilayah Syam (Jerussalem/Palestina termasuk di dalamnya) adalah penaklukan ketiga di luar jaziarah Arab, setelah Mesopotamia (Sassanid; Persia), dan Ghassanid; Byzantiumnya Arab. (kesemuanya dipimpin Khalid bin Walid).

Rasulullah SAW telah memulai membuka perjalanan ke utara ini saat perang Tabuk (630 M) yang urung terjadi. Penaklukan ini kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab pada tahun 636 M dengan mengutus Khalid bin Walid.

Saat Khalid bin walid masuk, di sini ada gereja besar tempat kepala St. Yohannes (atau Nabi Yahya) dikuburkan.

Sehubungan dengan kebutuhan tempat ibadah bagai muslim pendatang, maka gereja ini membuka diri sebagai tempat peribadatan ummat Islam.

Kenapa membuka diri?

Sebab ummat Kristen rela berbagi ruangan gereja dengan muslim yang ingin beribadah, dan Khalid sebagai penakluk tidak serta merta mengambil alih gereja dan menjadikannya sebagai masjid.

Berbagi tempat ibadah antara pemeluk Kristen dan Islam ini berlangsung selama 79 tahun hingga pemerintahan Khalifah Umayyah al-Walid bin Abdul Malik atau yang dikenal sebagai Walid I (668-715).

Al-Walid I ini memerintah selama 9 tahun dari 703-715 M. pada masa al-Walid I, Islam berkembang hingga mencapai Cina, India, dan Eropa (Spanyol).

Nah, dapat dibayangkan bagaimana paradigma moderasi-toleransi para pemimpin Islam.

Di atas singgasananya di Damaskus, Khalifah al-Walid I saja tetap menjaga toleransi beragama dengan penduduk asli. Ia masih tetap berbagai rumah ibadah dengan pemeluk Kristen.

Seiring dengan bertambahnya pemeluk Islam dari kalangan Kristen, Khalifah melakukan negosiasi dengan pemimpin agama Kristen untuk menggunakan sisi barat sebagai tempat peribadatan Ummat Islam.

Sebagai gantinya, khalifah membangunkan sebuah gereja baru yang didedikasikan untuk Perawan Maria di kota tersebut.

Menjadikan seluruh gereja sebagai masjid secara bertahap ini tidak lain karena pemeluk Islam bertambah dari jamaah gereja tersebut. Praktis, pemeluk Kristen yang terbiasa beribadah di sana setelah konversi ke agama Islam tetap beribadah di tempat yang sama, namun dengan akidah yang baru.

BACA JUGA  Sejauh Menjelajah, Allah-lah Tempat Bertemunya

Perubahan fisik gereja tetap mempertahankan eksterior dan interior bangunan sebelumnya, seperti dua menara gereja. Khalifah hanya menambahkan menara di sisi utara.

Stuktur masjid dengan pilar-pilar batu pualam dan lantai/dinding berlapis marmer serta banyak lengkungan merupakan perpaduan gaya Romawi dan Islam.

Khalifah memang mengundang arsitek dan seniman Persia, Mesir, India, Afrika Utara, dan Byzantium untuk menyelesaikan masjid yang menghabiskan dana Khalifah sebanyak 400 kotak, di mana setiap kota berisi 14 ribu dinar.

Damaskus, di mana al-Quds/Jerussalem juga termasuk di dalamnya, telah menjadi ikon moderasi Islam terhadap keberagaman.

Toleransi yang dibangun dan berjalan selama ratusan tahun hancur dengan kedatangan tentara Salibis pada tahun 1099 M. Pasukan Salibis tidak menghendaki keberagaman.

Dalam perebutan al-Quds itu, lebih dari 70.000 penduduk sipil dibantai. Di sekitar al-Aqsa, darah umat Islam digambarkan tergenang hingga ke lutut para penjajah. Masjid dan sinagog di seluruh kota dihancurkan.

Bahkan orang Kristen juga menderita, karena Tentara Salibis berusaha memaksakan versi Kristen Katolik mereka sendiri daripada gereja tradisional Yunani, Armenia, Georgia, dan lainnya yang ada di kota.

Beruntungnya, perjalanan moderasi dan toleransi masyarakat muslim kembali diketengahkan oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi dalam pembebasan al-Quds/Jarussalem pada tahun 1187.

Ia mencontoh bagaimana Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid saat pertama kali membuka wilayah Damaskus.

Pada Pertempuran Hittin tahun 1187 M, pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan sepenuhnya Tentara Salibis di Al-Quds. Yang tersisa di kota suci itu hanya beberapa ksatria, yang menyerah kepada Shalahuddin.

Berbeda dengan Tentara Salibis yang membantai semua orang di kota, Shalahuddin justru memberikan jalan yang aman kepada semua penduduk ke tanah Kristen dan diizinkan untuk membawa barang-barang mereka bersamanya. Situs-situs Kristen di kota itu dilindungi. Orang-orang diizinkan berziarah ke sana.

Sikap moderasi dan toleransi yang dikedepankan masyarakat muslim di al-Quds/Jerussalem masih tersisa dengan baik dengan pembagian wilayah bagi ummat-ummat beragama yang hidup di sekitar al-Aqsa secara harmonis.

Gary M. Burge (2014) menyatakan bahwa selama berabad-abad terdapat empat pemukiman penganut beragama yang mengelilingi kota tua Jerussalem. Orang Yahudi tinggal di Tenggara, orang Armenia menempati sisi Barat Daya, pemeluk Kristen mendiami sisi Barat Laut, dan orang Islam berwilayah di Timur Laut.

Harmoni ini kemudian terancam punah kembali dengan pendudukan Palestina oleh Israel (1948).

Damaskus atau Syam (termasuk juga Palestina di dalamnya) menjadi contoh kehidupan majemuk yang harmonis ketika dipimpin oleh pemimpin Islam.

Para pemimpin ini menyadari bahwa Toleransi dalam Moderasi Beragama merupakan cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan beragama karena Moderasi Beragama merupakan patokan terciptanya sebuah toleransi dan kerukunan antar sesama. (*/Sripoku.com)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button